Indonesia
adalah suatu negara yang
berdiri di atas berbagai
suku, agama, ras dan golongan.
Perbedaan yang ada di Indonesia
adalah keragaman yang menjadi
kekayaan bangsa yang penuh dengan nuansa dan keniscayaan yang harus diterima. Disinilah
diperlukan toleransi untuk menyatukan
semua perbedaan. Gagasan tentang kesatuan bangsa ini
dibakukan dalam dasar negara kita,
yaitu Pancasila.
Pancasila
bukanlah landasan kebangsaan yang mempunyai
arti sempit. Pancasila adalah sesuatu yang mampu
menjadi perekat identitas bangsa sekaligus
perekat keragaman agama, budaya, dan etnis. Bung
Karno dalam pidato kelahiran Pancasila telah mampu memadukan kekuatan
nasionalisme, humanisme, dan demokrasi permusyawaratan dengan memegang teguh
keimanan kepada Tuhan Yang Maha
Esa.[1]
Agama, sebagaimana dinyatakan
banyak kalangan, dapat dipandang sebagai
instrumen illahiah
untuk memahami dunia. Islam, dibandingkan
dengan agama-agama lain, sebenarnya merupakan agama yang paling mudah untuk
menerima premis semacam ini. Alasan
utamanya terletak pada ciri Islam yang
paling menonjol, yaitu sifatnya yang
“hadir di mana-mana” (omnipresence). Ini
sebuah pandangan yang
mengakui bahwa kehadiran
Islam selalu memberikan panduan moral yang benar bagi
tindakan manusia.[2]
Pandangan ini telah mendorong sejumlah kaum muslim untuk percaya bahwa
Islam mencakup cara hidup yang total. Penubuhannya dinyatakan dalam syari’ah (hukum Islam). Bahkan
sebagian kalangan Muslim melangkah lebih jauh dari itu. Mereka menekankan bahwa
Islam adalah sebuah totalitas yang padu yang menawarkan pemecahan terhadap
semua masalah kehidupan. Sehingga
beberapa kalangan muslim beranggapan bahwa
Islam harus menjadi
dasar negara.
Pada sudut pandang yang lain, beberapa kalangan muslim
berpendapat bahwa Islam tidak
mengemukakan suatu pola baku tentang
teori negara atau sistem politik yang harus dijalankan oleh umat.
Menurut aliran pemikiran ini, bahkan
istilah negara (daulah) pun tidak dapat ditemukan dalam al-Qur’an karena
al-Qur’an bukanlah buku tentang ilmu politik.[3] Berangkat dari perspektif
inilah para ulama founding fathers
negara Indonesia seperti KH Hasyim Asy’ari, Ki Bagus Hadikusumo, dan KH
Agus Salim meletakkan Pancasila dalam kerangka pembentukan Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI). Hal ini juga berarti bahwa Pancasila tidaklah
berseberangan dengan islam.
Secara substansial, Pancasila
tidak bertentangan dengan al-Qur’an yang mengandung
nilai-nilai dan ajaran-ajaran mengenai aktivitas sosial. Ajaran-ajaran ini mencakup prinsip-prinsip tentang
keadilan, kesamaan, persaudaraan, dan kebebasan. Untuk itu, bagi kalangan yang
berpendapat demikian, sepanjang negara
berpegang kepada prinsip-prinsip seperti itu, maka mekanisme yang diterapkannya
sesuai dengan ajaran-ajaran Islam.[4]
Dengan dijadikannya Pancasila sebagai dasar negara, harapan para ulama founding fathers adalah
Pancasila mampu mengayomi seluruh lapisan masyarakat Indonesia yang
plural (bhinneka) dengan payung nilai-nilai Islam yang universal untuk
mewujudkan sebuah masyarakat yang adil dan makmur.
[1] Ahmad Syafi’I Ma’arif.
2012. Politik Identitas dan Masa Depan
Pluralisme Kita. Jakarta : Democracy Project. Hlm
88.
[2] Bachtiar Efendy. 2011. Islam
dan Negara; Transformasi Gagasan dan Politik Islam di Indonesia. Jakarta:
Democracy Project. Hlm 21.
[3] Ahmad
Syafi’I Ma’arif. 2012. Politik Identitas
dan Masa Depan Pluralisme Kita. Jakarta : Democracy Project. Hlm 21.
[4] Bachtiar Efendy. 2011. Islam dan Negara; Transformasi Gagasan dan
Politik Islam di Indonesia. Jakarta: Democracy Project. Hlm 30.
Posting Komentar