FILOSOF ISLAM IBNU SINA
Oleh
: Fachri Sakti Nugroho
A.
PENDAHULUAN
Nama lengkap dari Ibnu Sina adalah
Abu Ali bin Abdullah bin Hasan bin Ali bin Sina. Beliau adalah filosof yang
dilahirkan di desa Afsyanah, sebuah desa dekat Bukhara pada tahun 370
Hijriah/980 Masehi, berdasarkan riwayat Ibnu Khalkan, atau 375 Hijriyah/985
Masehi, berdasarkan riwayat Abi Ushaibiyah.[1]
Ibnu Sina pindah bersama keluarganya ke Bukhara dan belajar AlQuran, dan sastra
disana saat usianya sekitar sepuluh tahun. Belia juga belajar ilmu fiqih kepada
Ismail dan belajar ilmu mantik kepada Abdullah Natalie. Selain itu Ibnu Sina
juga belajar fisika dan ketuhanan serta mulai mengobati orang-orang yang sakit
sehingga namanya semakin dikenal.
Ibnu Sina adalah orang yang sangat
senang mencari ilmu. Pada suatu ketika, jika beliau mendapati kesulitan dalam
menjawab permasalahan, beliau berwudlu kemudian pergi ke masjid untuk berdoa
kepada Allah agar diberi kemudahan dalam menjawab dan membuka ilmunya.
Diriwayatkan pula bahwa beliau pernah mendapati kesulitan dalam memahami buku
metafisika Aristoteles, sampai-sampai dia beliau membacanya sebanyak empat
puluh kali, tapi tetap belum bisa memahaminya hingga putus asa. Disaat itulah
secara kebetulan beliau memegang buku karangan Al-Farabi tetntang tujuan buku
tersebut. Dia sangat bahagia karena dapat memahami buku metafisika tersebut.
Sebagai tanda syukur kepada Allah SWT atas keberhasilannya itu dia bersedekah
kepada kaum miskin.[2]
B.
FALSAFAT
IBNU SINA
Ibnu Sina menyusun buku-buku besar
dan panjang dalam filsafat semisal asy-Syifa’
atau buku ringkasan semisal an-Najah.[3]
Beliau juga tertarik pada psikologi, dan masih banyak lagi karangan Ibnu Sina
yang bermanfaat bagi dunia.
1.
Tiga
Unsur
Tiga
unsur dari emanasi Ibnu Sina adalah :
-
Usur Ilmu Kalam. Sama
seperti halnya kaum Mutakallimin yang
mengelompokan maujudat (segala yang
ada), Ibnu Sina juga mengelompokannya menjad dua, yaitu yang wajib dan yang
mungkin. Yang dimaksud dengan wajib ialah sesuatu yang ada, sedangkan yang
mungkin adlah sesuatu yang terbayang adanya namun terbayang pula tidak adanya.
Wajib terbagi menjadi dua, yaitu wajib bidzatihi (wajib dengan zatnya)
dan wajib bighairihi (wajib dengan
yang lainnya). Wajib bidzatihi adalah
sesuatu yang keberadaanya tidak bergantung pada sebab yang lain. Wajib bidzatihi ini hanya diperuntukkan
kepada tuhan.
Wajib
bighairihi adalah sesuatu yang adanya berasal
dari benda lain daripada zatnya sendiri. Seperti halnya kebakaran yang tidak mungkin
adanya tanpa api dan benda-benda lain yang terbakar.
Wajib
bighairihi disebut juga mumkin bidzatihi (mungkin denga zatnya) yaitu sesuatu yang
terbayang dan tidak terbayang adanya karena zatnya sendiri, karena bukan yag
lainnya. Mumkin juga terbagi menjadi
dua, yaitu mumkin bidzatihi (mungkin
dengan zatnya) dan mumkin bighairihi (mungkin
dengan yang lainnya). Mumkin bighairihi adalah
sesuatu yang terbayang karena sebab yang
lain juga, semisal kelahiran anak itu mugkinn karena dengan adanya sebab perkawinan
suami istri
Jadi kesimpulannya maujudat ini ada tiga macam ; wajib bidzatihi, yaitu Allah, wajib bighairihi dan mumkin bighairihi kedua-duanya alam
mahluk.
-
Unsur yang berasal dari
prinsi filsafat zaman elea dan neo-platonisme yang menjadi prinsip ummum bahwa
yang satu hanya mengeluarkan satu juga (la
yasduru’anil wahid illa wahid). Dalam kitab an-najah, beliau mengatakan
bahwa darri yang satu itu, ditinjau dari yang satunya, hanya dapat diperoleh
satu juga (innal wahida min haitsu huwa
wahidun innama yujadu wahidun). Ini berarti jika Tuhan mengadakan satu
wujud, maka wujud itu haruslah satu juga.
-
Unsur yang berasal dari
filsafat Aristoteles dan neo-platonisme tentang akal. Seperti halnya Al-Farabi,
Ibnu Sina juga mengatakan Allah itu Al-Aqlu, dan beremanasi seperti teori
emanasi Al-Farabi.
2.
Teori
Emanasi
Dalam emanasinya, pendapat Ibnu Sina
tak jauh berbeda dengan Al-Farabi, hanya saja, ada sedikit tambahan dari Ibnu
Sina mengenai wujud lain yang berbeda dari pemikiran Al-Farabi, yaitu jirmul faalakil aqsha dan nafsul falaqil aqsha yang muncul tatkala
akal ber-ta’aqqul mengeluarkan akal
kedua. Yang dimaksud jirmul faalakil
aqsha adalah langit dengan semua planetnya, sedangkan nafsul falaqil aqsha adalah jiwa dari langit denga semua planetnya.
Jadi, menurut Ibnu Sina, tiap-tiap al-‘aql
itu menyebabkan timbulnya tiga macam keadaan, yaitu selain dengan akal yang
berikutnya juga mengeluarkan jirim langit dan planetnya serta jiwa langit dan
planet-planetnya.[4]
Menurutnya, falak mempunyai jiwa dan
menggerakannya secara langsung karena berhubungan langsung dengan falak,
sedangkan al-aql menggerakannya dari
jauh karena al-aql terasing
(munfarid). Al-aql mempunyai hal yang
disebut al-khair (kebaikan), dan kebaikan
inilah yang menjadi tujuan falak untuk mencapai kesempurnaan dirinya.
Untuk mencapai kesempurnaannya, falak
berputar mengelilingi al-aqlul-mufarid. Namun
falak tidak bisa mencapainya karena setiap falak mencapai satu tingkatan
kesempurnaan dalam lingkungan akalnya, dia mempunyai hajat baru kearah akal
yang lebih tinggi kesempurnaanya. Maka dari itu, akal pertamalah yang paling
sempurna karena merupakan limpahan langsung dari Tuhan. Selanjutnya akal kedua
lebih rendah dari akal pertama, dan akal ketiga lebih rendah dari akal kedua,
dan seterusnya. Pelimpahan Tuhan atas akal-akal ini terjadi atas kerelaan yang
dipikirkan (faidlu ridla ma’qul) oleh
Tuhan. Alasan logikanya, limpahan ini berarti bahwa barang yang diingini lebih
tinggi tingkatanya dari yang mengingini.
3.
Falsafat
Jiwa
Filsafat kejiwaan Ibnu Sina banyak
terpengaruh oleh filosof-filosof sebelumnya seperti Aristoteles, Galius dan
Plotinus, namun tidak berarti bahwa Ibnu Sina tidak mempunyai pemikiran
sendiri. Banyak karangan dari Ibnu Sina yang menarik perhatian dari para
pemikir-pemikir modern dari segi filsafatnya, antara lain adalah :
a.
S. Landauser yang menerbitkan
karangan Ibnu Sina berjudul Risalatul-Quwa
an-Nasian, tahun 1875, berdasarkan teks arab, ibrani dan latin.
b.
Carra de Vaux dalam bukunya Avicenna.
c.
Dr. Gamil Saliba dalam bukunya,
Etude sur ia Metaphysique d’Avicenna.
d.
Dr. Utsman Najati dalam
bukunya, Nadlariat al-Idrak al-Hissi inda
Ibnu Sina.
e.
B. Haneberg dalam bukunya, Zur Erkentnislehre von Ibnu Sina.
Segi-segi kejiwaan Ibnu Sina dalam
garis besarnya dapat dibagi menjadi dua, yaitu[5]
:
-
Segi fisika, yang
membicarakan tentang macam-macamnya
jiwa, pembagian kebaikan, jiwa manusia, indera dan lain-lain.
-
Segi metafisika, yang membahas
tentang wujud dan jiwa, pertalian jiwa dengan badan dan keabadian jiwa. Ada
empat dalil yang dikemukakan oleh Ibnu Sina untuk membuktikan adanya jiwa,
yaitu :
a.
Dalil alam kejiwaan
Dalam diri terdapat
peristiwa-peristiwa yang tak mungkin ditafsirkan kecuali setelah mengakui
keberadaan jiwa. Peristiwa itu antara lain adalah gerak dan pengenalan. Gerak ada dua macam, yaitu :
-
Gerak paksaan yang mana terjadi
karena dorongan dari luar dan kemudian menggerakan benda tersebut.
-
Gerak bukan paksaan, dan gerak
ini dibagi menjadi dua :
1.
Gerak yang sesuai dengan
ketentuan alam, seperti jatuhnya benda dari atas ke bawah.
2.
Gerak yang terjadi dengan
melawan hokum alam, seperti manusia yang berjalan sedangkan harusnya dia diam
karena berat badannya, atau seperti halnya burung yang terbang.
-
Pengenalan (pengetahuan), yang
menunjukkan bahwa adanya kekuatan lain yang terdapat pada sebagian mahluk yang
dikaruniai pengetahuan.
b.
Dalil “aku” dan kesatuan gejala-gejala kejiwaan
Menurut Ibnu Sina, apabila seseorang
sedang membicarakan tentang dirinya atau mengajak bicara orang lain, maka yang
dimaksudkan ialah jiwanya, bukan badannya. Keadaan tersebut diungkapkan oleh
Ibnu Sina dalam kata-katanya sebagai berikut : “apabila seseorang sedang sibuk
menghadapi suatu urusan, ia mengecam dirinya sehingga ia berkata “saya mengerjakan
begini atau begitu”.
Pada kata-kata tersebut kita dapati pikiran
tentang “saya” yang menjadi jiwa dan kekuatanya. Juga dalam peristiwa kejiwaan,
menurut Ibnu Sina terdapat keserasian dan koordinasi yang mengesankan adanya
suatu kekuatan yang menguasai dan mengaturnya. Saat sedih, gembira, cinta dan
benci, kesemua peristiwa tersebut keluar dari pribadi yang satu dan dari
kekuatan terbesar yang dapat menggabungkan peristiwa-peristiwa yang berlainan,
dan kekuatan tersebut adalah jiwa.
c.
Dalil kesinambungan
Dalil ini mengatakan bahwa ada
kesinambungan antara masa sekarang dengan masa lalu dan masa depan. Kehidupan
rohani tidak terputus oleh tidur, bahkan jika ada hubungannya dengan kehidupan
kita yang terjadi beberapa tahun yang lalu.Pertalian tersebut terjadi karena
peristiwa-peristiwa jiwa merupakan limpahan dari sumber yang satu dan beredar
disekitar titik tarik yang tetap.
Seperti yang dikatakan oleh Ibnu Sina
sebagai berikut, “perhatikan, wahai orang yang bijaksana, bahwa engkau yang
sekarang, pada jiwamu adalah juga terdapat disepanjang umurmu sehingga engkau
selalu ingat akan peristiwa-peristiwa yang engkau alami. Jadi, engkau (jiwa
engkau) tetap dan berjalan terus, tanpa diragukan lagi, sedangkan badan engkau
beserta bagian-bagiannya tidak tetap dan tidak berjalan terus, tetapi selamanya
terurai (terpisah) dan berkurang. Oleh karena itu, kalau seseorang tidak diberi
makan selama waktu tertentu, berat badannya akan berkurang sampai hamper
seperempatnya, dan dalam tempo dua puluh tahun bagian-bagian badan engkau akan
habis sama sekali. Sedangkan engkau mengerti baghwa dirimu (jiwamu) akan tetap
ada dalam tempo tersebut, bahkan sepanjang umurmu. Dengan demikian, maka zat
engkau (diri jiwa) berlainan dengan badan dan bagian-bagiannya, baik lahir
maupun batin.”
d.
Dalil orang terbang atau orang tergantung di udara
Dalil ini adalah dalil terindah yang
berasal dari khayalan Ibnu Sina, namun dalil ini tetap menunjukan kebenaran
untuk diyakini. Dalil ini mengatakan bahwa, andaikata ada seseorang yang mempunyai
kekuatan yang penuh, baik akal maupun jasmani, kemudian ia menutup matanya
hingga tak dapat melihat sama sekali apa yang ada disekelilingnya, kemudian dia
diletakkan di udara atau dalam kekosongan sehingga ia tak dapat merasakan suatu
persentuhan, bentrokkan tau perlawanan, dan anggota badannya diatur sehingga
tidak bersentuhan dan bertemu. Meskipun ini semua terjadi, orang itu tak akan
ragu-ragu bahwa dirinya itu ada, meskipun ia sukar menetapkan wujud dari
badannya. Bahkan boleh jadi ia tidak mempunyai pikiran sama sekali tentang
badan, sedangkan wujud yang digambarkannya adalah wujud yang tidak mempunyai
tempat, panjang dan lebar dalam tiga dimensi. Kalau pada saat itu dia
membayangkan ada tangan atau kaki, maka dia tidak akan mengira bahwa itu tangan
dan kakinya. Dengan demikian, maka penetapan tentang wujud dirinya tidak timbul
dari indera atau melalui badan, tetapi dari sumber lain yang berbeda sama
sekali dengan badan, yaitu jiwa.”
C.
PENUTUP
Falsafat adalah salah satu jalan yang
menawarkan rasionalitas kebenaran sebagai pilihan untuk menemukan makna hidup
dan membangun pandangan dunia. Falsafat adalah kerangka yang menitiskan beragam
jawaban akan pertanyaan asasi eksistensialis. Demikian halnya dengan agama, yang
bertujuan untuk menjadi jalan kebenaran, namun akal dan rasionalitas bukan
satu-satunya jalan yang dikehendaki oleh agama. Dogma agama, senantiasa
mensyaratkan iman bagi setiap pemeluknya, dan dimensi akliah manusia harus dinafikan
terlebih dahulu sehingga lantas bisa beranjak pada keluhuran derajat iman.
D.
KESIMPULAN
Ibnu Sina adalah seorang filosof yang
sangat cinta pada ilmu pengetahuan dan seseorang yang taat karena selalu
bersandar pada Tuhan ketika menghadapi kesulitan. Beliau mampu berpikir
melampaui jamannya dengan terbukti hingga sampai saat ini pemikirannya dibidang
kesehatan, psikologi, akal, dan jiwanya digunakan oleh para pemikir modern pada
saat ini.
DAFTAR PUSTAKA
Amroeni Drajat, Filsafat Islam Buat yang
Pengen Tahu, Erlangga, Jakarta, 2006.
Drs.
Poerwantana DKK, Seluk-Beluk Filsafat
Islam, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1994.
Muhammad
Utsman Najati, Jiwa Dalam Pandangan Para Filosof Muslim,
Pustaka Hidayah, Bandung, 2002.
Posting Komentar