BREAKING NEWS

Blogger news

Selasa, 15 Oktober 2013

IBNU SINA


FILOSOF ISLAM IBNU SINA
Oleh : Fachri Sakti Nugroho

A.    PENDAHULUAN
Nama lengkap dari Ibnu Sina adalah Abu Ali bin Abdullah bin Hasan bin Ali bin Sina. Beliau adalah filosof yang dilahirkan di desa Afsyanah, sebuah desa dekat Bukhara pada tahun 370 Hijriah/980 Masehi, berdasarkan riwayat Ibnu Khalkan, atau 375 Hijriyah/985 Masehi, berdasarkan riwayat Abi Ushaibiyah.[1] Ibnu Sina pindah bersama keluarganya ke Bukhara dan belajar AlQuran, dan sastra disana saat usianya sekitar sepuluh tahun. Belia juga belajar ilmu fiqih kepada Ismail dan belajar ilmu mantik kepada Abdullah Natalie. Selain itu Ibnu Sina juga belajar fisika dan ketuhanan serta mulai mengobati orang-orang yang sakit sehingga namanya semakin dikenal.
Ibnu Sina adalah orang yang sangat senang mencari ilmu. Pada suatu ketika, jika beliau mendapati kesulitan dalam menjawab permasalahan, beliau berwudlu kemudian pergi ke masjid untuk berdoa kepada Allah agar diberi kemudahan dalam menjawab dan membuka ilmunya. Diriwayatkan pula bahwa beliau pernah mendapati kesulitan dalam memahami buku metafisika Aristoteles, sampai-sampai dia beliau membacanya sebanyak empat puluh kali, tapi tetap belum bisa memahaminya hingga putus asa. Disaat itulah secara kebetulan beliau memegang buku karangan Al-Farabi tetntang tujuan buku tersebut. Dia sangat bahagia karena dapat memahami buku metafisika tersebut. Sebagai tanda syukur kepada Allah SWT atas keberhasilannya itu dia bersedekah kepada kaum miskin.[2]

B.     FALSAFAT IBNU SINA
Ibnu Sina menyusun buku-buku besar dan panjang dalam filsafat semisal asy-Syifa’ atau buku ringkasan semisal an-Najah.[3] Beliau juga tertarik pada psikologi, dan masih banyak lagi karangan Ibnu Sina yang bermanfaat bagi dunia.

1.      Tiga Unsur
Tiga unsur dari emanasi Ibnu Sina adalah :
-          Usur Ilmu Kalam. Sama seperti halnya kaum Mutakallimin yang mengelompokan maujudat (segala yang ada), Ibnu Sina juga mengelompokannya menjad dua, yaitu yang wajib dan yang mungkin. Yang dimaksud dengan wajib ialah sesuatu yang ada, sedangkan yang mungkin adlah sesuatu yang terbayang adanya namun terbayang pula tidak adanya.
Wajib terbagi menjadi dua, yaitu wajib bidzatihi (wajib dengan zatnya) dan wajib bighairihi (wajib dengan yang lainnya). Wajib bidzatihi adalah sesuatu yang keberadaanya tidak bergantung pada sebab yang lain. Wajib bidzatihi ini hanya diperuntukkan kepada tuhan.
Wajib bighairihi adalah sesuatu yang adanya berasal dari benda lain daripada zatnya sendiri. Seperti halnya kebakaran yang tidak mungkin adanya tanpa api dan benda-benda lain yang terbakar.
Wajib bighairihi disebut juga mumkin bidzatihi (mungkin denga zatnya) yaitu sesuatu yang terbayang dan tidak terbayang adanya karena zatnya sendiri, karena bukan yag lainnya. Mumkin juga terbagi menjadi dua, yaitu mumkin bidzatihi (mungkin dengan zatnya) dan mumkin bighairihi (mungkin dengan yang lainnya). Mumkin bighairihi adalah sesuatu yang terbayang karena  sebab yang lain juga, semisal kelahiran anak itu mugkinn karena dengan adanya sebab perkawinan suami istri
Jadi kesimpulannya maujudat ini ada tiga macam ; wajib bidzatihi, yaitu Allah, wajib bighairihi dan mumkin bighairihi kedua-duanya alam mahluk.
-          Unsur yang berasal dari prinsi filsafat zaman elea dan neo-platonisme yang menjadi prinsip ummum bahwa yang satu hanya mengeluarkan satu juga (la yasduru’anil wahid illa wahid). Dalam kitab an-najah, beliau mengatakan bahwa darri yang satu itu, ditinjau dari yang satunya, hanya dapat diperoleh satu juga (innal wahida min haitsu huwa wahidun innama yujadu wahidun). Ini berarti jika Tuhan mengadakan satu wujud, maka wujud itu haruslah satu juga.
-          Unsur yang berasal dari filsafat Aristoteles dan neo-platonisme tentang akal. Seperti halnya Al-Farabi, Ibnu Sina juga mengatakan Allah itu Al-Aqlu, dan beremanasi seperti teori emanasi Al-Farabi.




2.      Teori Emanasi
Dalam emanasinya, pendapat Ibnu Sina tak jauh berbeda dengan Al-Farabi, hanya saja, ada sedikit tambahan dari Ibnu Sina mengenai wujud lain yang berbeda dari pemikiran Al-Farabi, yaitu jirmul faalakil aqsha dan nafsul falaqil aqsha yang muncul tatkala akal ber-ta’aqqul mengeluarkan akal kedua. Yang dimaksud jirmul faalakil aqsha adalah langit dengan semua planetnya, sedangkan nafsul falaqil aqsha adalah jiwa dari langit denga semua planetnya. Jadi, menurut Ibnu Sina, tiap-tiap al-‘aql itu menyebabkan timbulnya tiga macam keadaan, yaitu selain dengan akal yang berikutnya juga mengeluarkan jirim langit dan planetnya serta jiwa langit dan planet-planetnya.[4]
Menurutnya, falak mempunyai jiwa dan menggerakannya secara langsung karena berhubungan langsung dengan falak, sedangkan al-aql menggerakannya dari jauh karena al-aql terasing (munfarid). Al-aql mempunyai hal yang disebut al-khair (kebaikan), dan kebaikan inilah yang menjadi tujuan falak untuk mencapai kesempurnaan dirinya.
Untuk mencapai kesempurnaannya, falak berputar mengelilingi al-aqlul-mufarid. Namun falak tidak bisa mencapainya karena setiap falak mencapai satu tingkatan kesempurnaan dalam lingkungan akalnya, dia mempunyai hajat baru kearah akal yang lebih tinggi kesempurnaanya. Maka dari itu, akal pertamalah yang paling sempurna karena merupakan limpahan langsung dari Tuhan. Selanjutnya akal kedua lebih rendah dari akal pertama, dan akal ketiga lebih rendah dari akal kedua, dan seterusnya. Pelimpahan Tuhan atas akal-akal ini terjadi atas kerelaan yang dipikirkan (faidlu ridla ma’qul) oleh Tuhan. Alasan logikanya, limpahan ini berarti bahwa barang yang diingini lebih tinggi tingkatanya dari yang mengingini.

3.      Falsafat Jiwa
Filsafat kejiwaan Ibnu Sina banyak terpengaruh oleh filosof-filosof sebelumnya seperti Aristoteles, Galius dan Plotinus, namun tidak berarti bahwa Ibnu Sina tidak mempunyai pemikiran sendiri. Banyak karangan dari Ibnu Sina yang menarik perhatian dari para pemikir-pemikir modern dari segi filsafatnya, antara lain adalah :
a.       S. Landauser yang menerbitkan karangan Ibnu Sina berjudul Risalatul-Quwa an-Nasian, tahun 1875, berdasarkan teks arab, ibrani dan latin.
b.      Carra de Vaux dalam bukunya Avicenna.
c.       Dr. Gamil Saliba dalam bukunya, Etude sur ia Metaphysique d’Avicenna.
d.      Dr. Utsman Najati dalam bukunya, Nadlariat al-Idrak al-Hissi inda Ibnu Sina.
e.       B. Haneberg dalam bukunya, Zur Erkentnislehre von Ibnu Sina.
Segi-segi kejiwaan Ibnu Sina dalam garis besarnya dapat dibagi menjadi dua, yaitu[5] :
-          Segi fisika, yang membicarakan  tentang macam-macamnya jiwa, pembagian kebaikan, jiwa manusia, indera dan lain-lain.
-          Segi metafisika, yang membahas tentang wujud dan jiwa, pertalian jiwa dengan badan dan keabadian jiwa. Ada empat dalil yang dikemukakan oleh Ibnu Sina untuk membuktikan adanya jiwa, yaitu :

a.      Dalil alam kejiwaan
Dalam diri terdapat peristiwa-peristiwa yang tak mungkin ditafsirkan kecuali setelah mengakui keberadaan jiwa. Peristiwa itu antara lain adalah gerak dan pengenalan.      Gerak ada dua macam, yaitu :
-          Gerak paksaan yang mana terjadi karena dorongan dari luar dan kemudian menggerakan benda tersebut.
-          Gerak bukan paksaan, dan gerak ini dibagi menjadi dua :
1.      Gerak yang sesuai dengan ketentuan alam, seperti jatuhnya benda dari atas ke bawah.
2.      Gerak yang terjadi dengan melawan hokum alam, seperti manusia yang berjalan sedangkan harusnya dia diam karena berat badannya, atau seperti halnya burung yang terbang.
-          Pengenalan (pengetahuan), yang menunjukkan bahwa adanya kekuatan lain yang terdapat pada sebagian mahluk yang dikaruniai pengetahuan.

b.      Dalil “aku” dan kesatuan gejala-gejala kejiwaan
Menurut Ibnu Sina, apabila seseorang sedang membicarakan tentang dirinya atau mengajak bicara orang lain, maka yang dimaksudkan ialah jiwanya, bukan badannya. Keadaan tersebut diungkapkan oleh Ibnu Sina dalam kata-katanya sebagai berikut : “apabila seseorang sedang sibuk menghadapi suatu urusan, ia mengecam dirinya sehingga ia berkata “saya mengerjakan begini atau begitu”.
Pada kata-kata tersebut kita dapati pikiran tentang “saya” yang menjadi jiwa dan kekuatanya. Juga dalam peristiwa kejiwaan, menurut Ibnu Sina terdapat keserasian dan koordinasi yang mengesankan adanya suatu kekuatan yang menguasai dan mengaturnya. Saat sedih, gembira, cinta dan benci, kesemua peristiwa tersebut keluar dari pribadi yang satu dan dari kekuatan terbesar yang dapat menggabungkan peristiwa-peristiwa yang berlainan, dan kekuatan tersebut adalah jiwa.

c.       Dalil kesinambungan
Dalil ini mengatakan bahwa ada kesinambungan antara masa sekarang dengan masa lalu dan masa depan. Kehidupan rohani tidak terputus oleh tidur, bahkan jika ada hubungannya dengan kehidupan kita yang terjadi beberapa tahun yang lalu.Pertalian tersebut terjadi karena peristiwa-peristiwa jiwa merupakan limpahan dari sumber yang satu dan beredar disekitar titik tarik yang tetap.
Seperti yang dikatakan oleh Ibnu Sina sebagai berikut, “perhatikan, wahai orang yang bijaksana, bahwa engkau yang sekarang, pada jiwamu adalah juga terdapat disepanjang umurmu sehingga engkau selalu ingat akan peristiwa-peristiwa yang engkau alami. Jadi, engkau (jiwa engkau) tetap dan berjalan terus, tanpa diragukan lagi, sedangkan badan engkau beserta bagian-bagiannya tidak tetap dan tidak berjalan terus, tetapi selamanya terurai (terpisah) dan berkurang. Oleh karena itu, kalau seseorang tidak diberi makan selama waktu tertentu, berat badannya akan berkurang sampai hamper seperempatnya, dan dalam tempo dua puluh tahun bagian-bagian badan engkau akan habis sama sekali. Sedangkan engkau mengerti baghwa dirimu (jiwamu) akan tetap ada dalam tempo tersebut, bahkan sepanjang umurmu. Dengan demikian, maka zat engkau (diri jiwa) berlainan dengan badan dan bagian-bagiannya, baik lahir maupun batin.”

d.      Dalil orang terbang atau orang tergantung di udara
Dalil ini adalah dalil terindah yang berasal dari khayalan Ibnu Sina, namun dalil ini tetap menunjukan kebenaran untuk diyakini. Dalil ini mengatakan bahwa, andaikata ada seseorang yang mempunyai kekuatan yang penuh, baik akal maupun jasmani, kemudian ia menutup matanya hingga tak dapat melihat sama sekali apa yang ada disekelilingnya, kemudian dia diletakkan di udara atau dalam kekosongan sehingga ia tak dapat merasakan suatu persentuhan, bentrokkan tau perlawanan, dan anggota badannya diatur sehingga tidak bersentuhan dan bertemu. Meskipun ini semua terjadi, orang itu tak akan ragu-ragu bahwa dirinya itu ada, meskipun ia sukar menetapkan wujud dari badannya. Bahkan boleh jadi ia tidak mempunyai pikiran sama sekali tentang badan, sedangkan wujud yang digambarkannya adalah wujud yang tidak mempunyai tempat, panjang dan lebar dalam tiga dimensi. Kalau pada saat itu dia membayangkan ada tangan atau kaki, maka dia tidak akan mengira bahwa itu tangan dan kakinya. Dengan demikian, maka penetapan tentang wujud dirinya tidak timbul dari indera atau melalui badan, tetapi dari sumber lain yang berbeda sama sekali dengan badan, yaitu jiwa.”

C.     PENUTUP
Falsafat adalah salah satu jalan yang menawarkan rasionalitas kebenaran sebagai pilihan untuk menemukan makna hidup dan membangun pandangan dunia. Falsafat adalah kerangka yang menitiskan beragam jawaban akan pertanyaan asasi eksistensialis. Demikian halnya dengan agama, yang bertujuan untuk menjadi jalan kebenaran, namun akal dan rasionalitas bukan satu-satunya jalan yang dikehendaki oleh agama. Dogma agama, senantiasa mensyaratkan iman bagi setiap pemeluknya, dan dimensi akliah manusia harus dinafikan terlebih dahulu sehingga lantas bisa beranjak pada keluhuran derajat iman.

D.    KESIMPULAN
Ibnu Sina adalah seorang filosof yang sangat cinta pada ilmu pengetahuan dan seseorang yang taat karena selalu bersandar pada Tuhan ketika menghadapi kesulitan. Beliau mampu berpikir melampaui jamannya dengan terbukti hingga sampai saat ini pemikirannya dibidang kesehatan, psikologi, akal, dan jiwanya digunakan oleh para pemikir modern pada saat ini.
DAFTAR PUSTAKA
Amroeni Drajat, Filsafat Islam Buat yang Pengen Tahu, Erlangga, Jakarta, 2006.
Drs. Poerwantana DKK, Seluk-Beluk Filsafat Islam, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1994.
Muhammad Utsman Najati, Jiwa Dalam Pandangan Para Filosof Muslim, Pustaka Hidayah, Bandung, 2002.


[1] Muhammad Utsman Najati, Jiwa Dalam Pandangan Para Filosof Muslim, : Pustaka   Hidayah , Bandung, 2002.
[2] Drs. Poerwantana DKK, Seluk-Beluk Filsafat Islam, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1994.
[3] Muhammad Utsman Najati, Jiwa Dalam Pandangan Para Filosof Muslim, : Pustaka   Hidayah , Bandung, 2002.
[4] Drs. Poerwantana DKK, Seluk-Beluk Filsafat Islam, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1994.
[5] Drs. Poerwantana DKK, Seluk-Beluk Filsafat Islam, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1994.

Share this:

Posting Komentar

 
Copyright © 2014 belajar dan bertelur. Designed by OddThemes | Distributed By Gooyaabi Templates