Sukarno
dalam pidatonya menegaskan
bahwa nasionalisme dan identitas kebangsaan kita justru akan makin kuat dan
dikokohkan manakala kita berhasil mengukuhkan persatuan dalam perbedaan,
demokrasi dan rasa solidaritas kebangsaan. Tanpa ketiganya, Indonesia yang
bersatu tidak akan mungkin tercapai hingga saat ini.
Pancasila
lahir sebagai proses yang natural terhadap dialektika masyarakat Indonesia yang
plural secara ideologi, suku, dan agama. Menurut Notonagoro (1975) demokrasi
pancasila adalah kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan yang berke-Tuhan-nan Yang Maha
Esa, yang Berkepribadian Kemanusiaan yang Adil dan Beradab yang mempersatukan
Indonesia dan yang berkedaulatan seluruh rakyat. Maka Pancasila sama sekali tidak bertentangan dengan Islam, melainkan
Pancasila adalah Islam itu sendiri. Meski tak bisa dipungkiri terjadinya
penyelewengan besar-besaran yang dilakukan
Orde Baru terhadap praktek pembangunan yang berlabel Pancasila.[1] Orde Baru juga melakukan indonesiasi filsafat Pancasila.
Melalui filsuf-filsuf yang disponsori Depdikbud, semua elemen Pancasila yang
mengandung unsur barat disingkirkan dan diganti interpretasinya dalam budaya
Indonesia. Pancasila digunakan sebagai alat legitimasi dibidang pendidikan oleh
penguasa.[2]
Islam adalah agama yang sempurna dan benar yang
diturunkan kepada Rasulallah dan menjadi rahmat bagi seluruh alam. Polemik
tentang Islam dan Pancasila
mungkin tidak akan ada habisnya. Namun ketika keserasian Pancasila dan Islam terbangun,
Indonesia akan lebih kuat dalam landasan berpikir dan bertindak untuk melangkah
dan bersaing di perkembangan zaman. Seperti yang dikatakan Nurcholis
Madjid, Pancasila tidak boleh terpasung oleh kekakuan penafsiran. Pancasila harus
menjadi ideologi terbuka dan
tidak mungkin dibuatkan penjabarannya sekali untuk selama-lamanya. Bukan hanya
Pancasila yang harus membuka diri bagi penafsiran baru agamapun, yang diyakini
berasal dari Allah, harus membuka diri untuk ditafsir ulang. Penafsiran ulang
inilah sebenarnya hakikat dari kerja ijtihad, demi menjawab masalah-masalah
zaman yang terus berubah.[3]
Dalam
Islam sendiri, ada beberapa generasi baru
pemikir dan aktivis
Islam, khususnya mereka yang
kepedulian utamanya adalah pembaruan teologis dan religius, meyakini pandangan mengenai
watak Islam yang holistik. Meskipun demikian, mereka menolak kesimpulan yang ditarik
dari doktrin keagamaan oleh
generasi terdahulu pemikir dan aktivis Islam. Mereka menyatakan bahwa watak holistik
Islam tidak serta-merta mengharuskan pencampuran antara yang
sakral dan yang profan. Hal itu juga tidak mengimplikasikan suatu pemahaman bahwa dua wilayah yang sakral dan
yang profan harus ditempatkan pada tingkat yang sama. Menurut mereka, meskipun
Islam tidak mengakui gagasan pemisahan antara kedua wilayah itu, namun keduanya
dapat dan bahkan harus dibedakan. Penempatan kedua bidang itu dalam posisi yang
sejajar hanya akan menghasilkan kerancuan dalam struktur dan nilai-nilai agama Islam.
Selain itu, mereka juga berpendapat bahwa Islam itu sendiri ternyata tidak
mengatur semua hal dalam segi kehidupan.[4]
Hal ini sangat menarik jika kita melihat Islam dalam masyarakat Islam di
Indonesia. Akulturasi budaya dan agama sangat kental terasa dan menjadi
kekuatan kesatuan Islam Indonesia di mata internasional. Disamping ada beberapa
oknum yang menjadikan agama sebagai legitimasi kepentingan politik maupun
golongan. Menurut Abdurrahman Wahid (2000) lepas dari politik
Islam yang banyak dipuji-puji, yang ditawarkan oleh para cendikiawan dan juga
ideologi-ideologi, masyarakat-masyarakat orang muslim telah mengembangkan
berbagai kerangka dan mengambil bagian dalam hampir semua jenis bentuk sosial
yang dikenal sejarah selama empat belas abad yang lalu. Orang-orang Indonesia
telah menunjukkan bahwa agama Islam dapat mengambil bagian dalam dari ideologi
yang sama bersama dengan kepercayaan-kepercayaan yang lain dan aliran-aliran
politik.
Terlepas dari berbagai polemik yang terjadi. Saat ini
kondisi masyarakat Indonesia terkotak-kotakkan dan terpecah menjadi beberapa
golongan atau aliran yang meyakini
kebenaran pandanganya masing-masing. Pengotakan ini memberi sense
of identity yang membuat anggota suatu golongan atau aliran merasa berbeda
dan memiliki superioritas atau kebenaran yang hakiki dibanding golongan atau
aliran lainnya. Setiap golongan atau aliran merasa bahwa mereka istimewa dan
merasa mereka diciptakan untuk hadir membawa tujuan yang paling mulia atau
paling benar. Tendensi politik aliran merupakan suatu keniscayaan
sejauh eksistensi politik aliran itu tidak melemahkan bangunan dasar demokasi,
Pancasila dan pluralisme, ia justru menjadi suatu kekayaan dan keniscayaan
untuk memperkaya landasan bangsa. Ia juga memajukan peradaban manusia Indonesia
yang majemuk dan ditakdirkan
bersuku-suku, beragam agama dan berbeda pandangan politik. Beberapa kelompok yang sparatis gerakannya memang mengarah pada anti Pancasila, anti demokrasi, dan anti kepada pluralisme. Kondisi ini
diekspresikan melalui bermunculannya Peraturan Daerah bertendensi syariah di
era otonomi daerah.
Fenomena bom bunuh diri,
aksi sepihak, kekerasan antar kelompok kepercayaan dengan simbol SARA
mengalami grafik yang signifikan mengancam kehidupan demokrasi. Situasi ini dipertajam dengan
realitas kekuasaan yang korupsi.[5]
Dalam situasi dan kondisi kekinian Indonesia, ditengah kencangnya arus
globalisasi dan modernisasi yang menggerus moral dan menipiskan identitas dan
kepedulian terhadap sesama dan bangsa, Pancasila dan Islam adalah palang pintu
terkuat untuk melindungi moral bangsa. Disisi lain, menyadari tantangan sebagai bangsa yang majemuk, kita
harus sadar akan pentingnya persatuan bangsa, maka prinsip-prinsip kelembagaan
yang didasarkan pada musyawarah untuk mufakat merupakan tuntunan bagi bangsa
Indonesia dalam menjalankan kehidupan kelembagaan negara yang menentukan masa
depan bangsa yang berkeadilan.
Semua permasalahan yang kita hadapi saat ini, perlu disikapi oleh
segenap komponen bangsa melalui pemahaman yang benar, utuh dan menyeluruh dalam
konteks semangat persatuan dan kesatuan bangsa. Semangat tersebut merupakan
kata kunci dari aktualisasi dan implementasi nilai-nilai luhur Pancasila yang
harus terus ditumbuh kembangkan oleh setiap Insan di Indonesia. Namun yang
menjadi titik sentral untuk menjawab tantangan ini tidak hanya restorasi
nilai-nilai luhur Pancasila dan Islam, melainkan juga komitmen besar kalangan
masyarakat dan semua elemen-elemen bangsa lainnya untuk mendukung terus rule of the game yang sehat. Seluruh masyarakat
harus proaktif untuk menciptakan, membina, mengembangkan dan memantapkan
persatuan dan kesatuan bangsa yang kerap menghadapi potensi perpecahan. Sinergi
Pancasila dan Islam diharapkan mampu menghidupkan kembali sikap dan budaya gotong
royong, silahturahmi dan musyawarah untuk mufakat yang hakikinya merupakan ciri
bangsa Indonesia sejak dulu dengan berpedoman pada pilar kebangsaan yang
dibangun oleh para pendiri bangsa.
[1] Ahmad
Syafi’I Ma’arif. 2012. Politik Identitas
dan Masa Depan Pluralisme Kita. Jakarta : Democracy Project. Hlm 78.
[3] Ahmad
Syafi’I Ma’arif. 2012. Politik Identitas
dan Masa Depan Pluralisme Kita. Jakarta : Democracy Project. Hlm 20.
[4] Bachtiar Efendy. 2011. Islam dan Negara; Transformasi Gagasan dan
Politik Islam di Indonesia. Jakarta: Democracy Project. Hlm 211.
[5] Ahmad
Syafi’I Ma’arif. 2012. Politik Identitas
dan Masa Depan Pluralisme Kita. Jakarta : Democracy Project. Hlm 79.
Posting Komentar