BREAKING NEWS

Blogger news

Selasa, 15 Oktober 2013

AL FARABI


FILOSOF AL-FARABI
Oleh : Fachri Sakti Nugroho

A.    PENDAHULUAN
Nama asli al-Farabi adalah Abu Nasr Muhammad al-Farabi, beliau lahir di Wasij, suatu desa di Farab (Transoxania) pada tahun 870 M. Al-Farabi dalam sumber-sumber Islam lebih akrab dikenal sebagai Abu Nasr. Iavberasal dari keturunan Persia. Ayahnya Muhammad Auzlagh adalah seorang Panglima Perang Persia yang kemudiaan menetap di Damsyik8 Ibunya berasal dari Turki. Oleh karena itu ia biasa disebut orang Persia atau orang Turki. Al-Farabi disepakati sebagai peletak sesungguhnya dasar piramida studi falsafah dalam Islam yang sejak itu terus dibangun dengan tekun.
Al-Farabi hidup ditengah kegoncangan masyarakat dan politik Islam. Pemerintah pusat Abbasiyah di Baghdad sedang berada di dalam kekacauan di bawah pimpinan khalifah-khalifah Radli, Muttaqi, Mustakfi. Saat itu bermunculan negara-negara di daerah yang mengambil alih kekuasaan. Sebagai seorang filosof muslim beliau sebenarnya tidak begitu aktif di dunia poitik, tetapi beliau memberikan kontribusi pemikiran dengan menulis buku politik untuk memperbarui tata Negara yang saat itu sedang kacau. Pembaruan itu menurutnya hanya dapat berhasil bila berakar kokoh dalam fondasi filsafat.
Para ahli sepakat memberikan pujian yang tinggi kepadanya, banyak diantara mereka yang memberi sebutan Guru Kedua setelah Aristoteles, terutama sebagai ahli logika yang masyhur dan juru bicara Plato dan Aristoteles pada masanya. Beliau belajar kepada Abu Bisyr Matta ibn Yunus selama dua puluh tahun, kemudian pindah ke Damaskus. Di sini ia berkenalan dengan Gubernur Aleppo, Saifuddaulah al-Hamdani. Gubernur ini sangat terkesan dengan al-Farabi, lalu diajaknya pindah ke Aleppo dan kemudian mengangkat al-Farabi sebagai ulama istana. Disini beliau banyak mengarang buku dan menghabiskan sisa hidupnya. Beliau meninggal pada tahun 950 M dalam usia 80 tahun.


B.     FALSAFAT EMANASI AR-RAZI
Dengan filsafat emanasi al-Farabi mencoba menjelaskan bagaimana yang banyak bisa timbul dari Yang Esa. Tuhan bersifat Maha Esa, tidak berubah, jauh dari materi, Maha Sempurna dan tidak berhajat pada apapun.[1] Kalau demikian hakikat sifat Tuhan bagaimana terjadinya alam materi yang banyak ini dari yang Maha Satu. Emanasi merupakan solusinya bagi al-Farabi. Proses emanasi itu adalah sebagai berikut. Tuhan sebagai akal, berpikir tentang diri-Nya, dan dari pemikiran ini timbul satu maujud lain. Tuhan merupakan wujud pertama dan dengan pemikiran itu timbul wujud kedua, dan juga mempunyai substansi. Ia disebut Akal Pertama (First Intelligent) yang tak bersifat materi. Wujud kedua ini berpikir tentang wujud pertama dan dari pemikiran ini timbullah wujud ketiga, disebut Akal Kedua.
Wujud II atau Akal Pertama itu juga berpikir tentang dirinya dan dari situ timbul langit pertama.
Wujud III atau Akal II ------ Tuhan = Wujud IV/Akal Ketiga
------ dirinya = Bintang-bintang
Wujud IV/Akal III ------ Tuhan = Wujud V/Akal Keempat
------ dirinya=Saturnus
Wujud V/Akal IV ------ Tuhan =Wujud VI/Akal Kelima
------ dirinya=Jupiter
Wujud VI/Akal V ------ Tuhan=Wujud VII/Akal Keenam
------ dirinya=Mars
Wujud VII/AkalVI ------ Tuhan=Wujud VIII/Akal Ketujuh
------ dirinya=Matahari
Wujud VIII/Akal VII ------ Tuhan=Wujud IX/Akal Kedelapan
------ dirinya=Venus
Wujud IX/AkalVIII ------ Tuhan=Wujud X/Akal Kesembilan
------ dirinya=Mercury
Wujud X/Akal IX ------ Tuhan=Wujud XI/Akal Kesepuluh
------ dirinya=Bulan
Pada pemikiran Wujud IX/Akal Kesepuluh ini berhenti terjadi timbulnya akal-akal. Tetapi dari Akal Kesepuluh muncullah bumi serta roh-roh dan materi pertama yang menjadi dasar dari keempat unsur api, udara, air dan tanah.[2] Al farabi mengatakan bahwa alam ini baru dan tak mempunyai permulaan dalam waktu, yaitu tidak terjadi secara berangsur-angsur, tetapi sekaligus dengan tak terpaut waktu. Beliau menjelaskan munculnya segala sesuatu dengan tidak serta merta hanya melalui Kun Fayakun seperti pemahaman tradisional. Segala sesuatu dari Wujud Pertama dalam suatu cara yang sangat sistematis.
Al-Farabi membagi ilmu yang berkaitan dengan emanasi ini menjadi dua, yaitu konsepsi.
·         tasawwur mutlak, diantara konsep itu ada yang baru sempurna apabila didahului oleh yang sebelumnya sebagaimana tidak mungkin menggambarkan benda tanpa menggambarkan panjang, lebar dan dalam tiga dimensi. Konsep tersebut tidak mesti diperlukan pada setiap konsep, melainkan harus berhenti pada suatu konsep yang penghabisan yang tidak mungkin dibayangkan adanya konsep yang sebelumnya, seperti konsep tentang wujud, wajib dan mungkin. Kesemuanya ini tidak memerlukan adanya konsep yang sebelumnya, karena konsep-konsep tersebut adalah pengertian-pengertian yang jelas dan benar dan terdapat dalam pikiran.
·         Keputusan pikiran (judgment-tasdiq), maka diantaranya ada yang tidak bisa diketahui, sebelum diketahui hal-hal sebelumnya. Seperti pengetahuan bahwa alam ini baru. Untuk itu diperlukan terlebih dahulu adanya putusan bahwa alam ini tersusun, dan tiap yang tersusun berarti baru. Ini adalah hukum-hukum pikiran dasar dan yang jelas dalam akal, seperti halnya dengan hukum yang mengatakan bahwa keseluruhan lebih besar dari sebagian. Kesemuanya ini adalah pikiran-pikiran yang terdapat dalam akal dan yang bisa dikeluarkan sebagai pengingatan karena tidak ada sesuatu yang lebih terang dari padanya dan tidak perlu dibuktikan karena sudah jelas dengan sendirinya. Juga hukum-hukum tersebut memberikan keyakinan dan dasar.


C.    JIWA, AKAL DAN KENABIAN
Jiwa dan akal manusia bagi al-Farabi berasal dari akal kesepuluh, dan seperti halnya dengan Aristoteles, beliau juga berpendapat bahwa jiwa mempunyai daya-daya :
1.      Gerak, yang terdiri dari :
-          Makan
-          Memelihara
-          Berkembang
2.      Mengetahui, yang terdiri dari :
-          Merasa
-          Imajinasi
3.      Berpikir
-          Akal Praktis
-          Akal teoritis
Sedangkan daya berpikir dibagi menjadi tiga tingkatan :
-          Akal Potensil, yaitu mampu melepaskan arti-arti atau bentuk-bentuk dari materinya. (Mampu ditangkap panca indera).
-          Akal Aktuil, yaitu mampu melepaskan arti-arti atau bentuk-bentuk dari materinya, dan arti itu telah mempunyai wujud dalam akal yang sebenarnya dan berbentuk aktuil. (Mampu menangkap konsep-konsep).
-          Akal Mustafad, yaitu akal yang telah dapat menangkap bentuk-bentuk semata atau arti-arti yang terlepas dari materi, seperti halnya akal kesepuluh dan Tuhan.(Mampu menangkap inspirasi dan mengadakan komunikasi yang diluar diri manusia yang kemudian disebut akal aktif yang digambarkan dengan mata dan matahari).
Bagi al-Farobi, para nabi mempunyai kemampuan untuk berkomunikasi dengan akal kesepuluh tanpa harus berupaya keras dalam melakukannya, karena nabi adalah manusia pilihan. Para filosof berkomunikasi dengan akal kesepuluh melalui akal mustafad, namun berbeda halnya dengan nabi yang diberi kemampuan daya imajinasi yang begitu kuat untuk menjangkau akal kesepuluh. Karena kesemuanya itu didapat dari akal kesepuluh maka, wahyu dan filsafat tidaklah bertentangan.



D.    PENUTUP
Falsafat adalah salah satu jalan yang menawarkan rasionalitas kebenaran sebagai pilihan untuk menemukan makna hidup dan membangun pandangan dunia. Falsafat adalah kerangka yang menitiskan beragam jawaban akan pertanyaan asasi eksistensialis. Demikian halnya dengan agama, yang bertujuan untuk menjadi jalan kebenaran, namun akal dan rasionalitas bukan satu-satunya jalan yang dikehendaki oleh agama. Dogma agama, senantiasa mensyaratkan iman bagi setiap pemeluknya, dan dimensi akliah manusia harus dinafikan terlebih dahulu sehingga lantas bisa beranjak pada keluhuran derajat iman.

E.     KESIMPULAN
Al-Farabi adalah seorang filosof Islam yang membawa wacana filsafat secara lebih mendalam. Ia mendirikan filsafat Islam yang kemudian banyak diikuti oleh filosof Islam yang lain sehingga beliau juga diberi gelar Guru Kedua. Sumbangannya keilmuan dan politik telah banyak memberi manfaat dan tidak diragukan lagi diantara filosof-filosof Islam.

DAFTAR PUSTAKA
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisme dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1973.



[1] Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, 1973.
[2] Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, 1973.

Share this:

Posting Komentar

 
Copyright © 2014 belajar dan bertelur. Designed by OddThemes | Distributed By Gooyaabi Templates