FILOSOF AL-FARABI
Oleh : Fachri Sakti Nugroho
A.
PENDAHULUAN
Nama asli al-Farabi adalah Abu Nasr
Muhammad al-Farabi, beliau lahir di Wasij, suatu desa di Farab (Transoxania)
pada tahun 870 M. Al-Farabi dalam sumber-sumber Islam lebih akrab dikenal
sebagai Abu Nasr. Iavberasal dari keturunan Persia. Ayahnya Muhammad Auzlagh
adalah seorang Panglima Perang Persia yang kemudiaan menetap di Damsyik8 Ibunya
berasal dari Turki. Oleh karena itu ia biasa disebut orang Persia atau orang
Turki. Al-Farabi disepakati sebagai peletak sesungguhnya dasar piramida studi
falsafah dalam Islam yang sejak itu terus dibangun dengan tekun.
Al-Farabi hidup ditengah kegoncangan
masyarakat dan politik Islam. Pemerintah pusat Abbasiyah di Baghdad sedang
berada di dalam kekacauan di bawah pimpinan khalifah-khalifah Radli, Muttaqi,
Mustakfi. Saat itu bermunculan negara-negara di daerah yang mengambil alih kekuasaan.
Sebagai seorang filosof muslim beliau sebenarnya tidak begitu aktif di dunia
poitik, tetapi beliau memberikan kontribusi pemikiran dengan menulis buku
politik untuk memperbarui tata Negara yang saat itu sedang kacau. Pembaruan itu
menurutnya hanya dapat berhasil bila berakar kokoh dalam fondasi filsafat.
Para ahli sepakat memberikan pujian
yang tinggi kepadanya, banyak diantara mereka yang memberi sebutan Guru Kedua
setelah Aristoteles, terutama sebagai ahli logika yang masyhur dan juru bicara
Plato dan Aristoteles pada masanya. Beliau belajar kepada Abu Bisyr Matta ibn
Yunus selama dua puluh tahun, kemudian pindah ke Damaskus. Di sini ia
berkenalan dengan Gubernur Aleppo, Saifuddaulah al-Hamdani. Gubernur ini sangat
terkesan dengan al-Farabi, lalu diajaknya pindah ke Aleppo dan kemudian
mengangkat al-Farabi sebagai ulama istana. Disini beliau banyak mengarang buku
dan menghabiskan sisa hidupnya. Beliau meninggal pada tahun 950 M dalam usia 80
tahun.
B.
FALSAFAT
EMANASI AR-RAZI
Dengan filsafat emanasi al-Farabi
mencoba menjelaskan bagaimana yang banyak bisa timbul dari Yang Esa. Tuhan
bersifat Maha Esa, tidak berubah, jauh dari materi, Maha Sempurna dan tidak berhajat
pada apapun.[1]
Kalau demikian hakikat sifat Tuhan bagaimana terjadinya alam materi yang banyak
ini dari yang Maha Satu. Emanasi merupakan solusinya bagi al-Farabi. Proses
emanasi itu adalah sebagai berikut. Tuhan sebagai akal, berpikir tentang
diri-Nya, dan dari pemikiran ini timbul satu maujud lain. Tuhan merupakan wujud
pertama dan dengan pemikiran itu timbul wujud kedua, dan juga mempunyai substansi.
Ia disebut Akal Pertama (First Intelligent) yang tak bersifat materi.
Wujud kedua ini berpikir tentang wujud pertama dan dari pemikiran ini timbullah
wujud ketiga, disebut Akal Kedua.
Wujud II atau Akal Pertama itu juga
berpikir tentang dirinya dan dari situ timbul langit pertama.
Wujud III atau Akal
II ------ Tuhan = Wujud IV/Akal Ketiga
------ dirinya =
Bintang-bintang
Wujud IV/Akal
III ------ Tuhan = Wujud V/Akal Keempat
------
dirinya=Saturnus
Wujud V/Akal IV
------ Tuhan =Wujud VI/Akal Kelima
------
dirinya=Jupiter
Wujud VI/Akal V
------ Tuhan=Wujud VII/Akal Keenam
------
dirinya=Mars
Wujud VII/AkalVI
------ Tuhan=Wujud VIII/Akal Ketujuh
------
dirinya=Matahari
Wujud VIII/Akal
VII ------ Tuhan=Wujud IX/Akal Kedelapan
------
dirinya=Venus
Wujud IX/AkalVIII
------ Tuhan=Wujud X/Akal Kesembilan
------
dirinya=Mercury
Wujud X/Akal IX
------ Tuhan=Wujud XI/Akal Kesepuluh
------ dirinya=Bulan
Pada pemikiran Wujud IX/Akal
Kesepuluh ini berhenti terjadi timbulnya akal-akal. Tetapi dari Akal Kesepuluh muncullah
bumi serta roh-roh dan materi pertama yang menjadi dasar dari keempat unsur
api, udara, air dan tanah.[2]
Al farabi mengatakan bahwa alam ini baru dan tak mempunyai permulaan dalam
waktu, yaitu tidak terjadi secara berangsur-angsur, tetapi sekaligus dengan tak
terpaut waktu. Beliau menjelaskan munculnya segala sesuatu dengan tidak serta
merta hanya melalui Kun Fayakun seperti pemahaman tradisional. Segala
sesuatu dari Wujud Pertama dalam suatu cara yang sangat sistematis.
Al-Farabi membagi ilmu yang berkaitan
dengan emanasi ini menjadi dua, yaitu konsepsi.
·
tasawwur mutlak, diantara
konsep itu ada yang baru sempurna apabila didahului oleh yang sebelumnya
sebagaimana tidak mungkin menggambarkan benda tanpa menggambarkan panjang,
lebar dan dalam tiga dimensi. Konsep tersebut tidak mesti diperlukan pada
setiap konsep, melainkan harus berhenti pada suatu konsep yang penghabisan yang
tidak mungkin dibayangkan adanya konsep yang sebelumnya, seperti konsep tentang
wujud, wajib dan mungkin. Kesemuanya ini tidak memerlukan adanya konsep yang
sebelumnya, karena konsep-konsep tersebut adalah pengertian-pengertian yang jelas
dan benar dan terdapat dalam pikiran.
·
Keputusan pikiran (judgment-tasdiq), maka
diantaranya ada yang tidak bisa diketahui, sebelum diketahui hal-hal
sebelumnya. Seperti pengetahuan bahwa alam ini baru. Untuk itu diperlukan
terlebih dahulu adanya putusan bahwa alam ini tersusun, dan tiap yang tersusun
berarti baru. Ini adalah hukum-hukum pikiran dasar dan yang jelas dalam akal,
seperti halnya dengan hukum yang mengatakan bahwa keseluruhan lebih besar dari
sebagian. Kesemuanya ini adalah pikiran-pikiran yang terdapat dalam akal dan
yang bisa dikeluarkan sebagai pengingatan karena tidak ada sesuatu yang lebih
terang dari padanya dan tidak perlu dibuktikan karena sudah jelas dengan
sendirinya. Juga hukum-hukum tersebut memberikan keyakinan dan dasar.
C.
JIWA,
AKAL DAN KENABIAN
Jiwa dan akal manusia bagi al-Farabi
berasal dari akal kesepuluh, dan seperti halnya dengan Aristoteles, beliau juga
berpendapat bahwa jiwa mempunyai daya-daya :
1.
Gerak, yang terdiri dari :
-
Makan
-
Memelihara
-
Berkembang
2.
Mengetahui, yang terdiri dari :
-
Merasa
-
Imajinasi
3.
Berpikir
-
Akal Praktis
-
Akal teoritis
Sedangkan daya berpikir dibagi
menjadi tiga tingkatan :
-
Akal Potensil, yaitu mampu
melepaskan arti-arti atau bentuk-bentuk dari materinya. (Mampu ditangkap panca
indera).
-
Akal Aktuil, yaitu mampu
melepaskan arti-arti atau bentuk-bentuk dari materinya, dan arti itu telah
mempunyai wujud dalam akal yang sebenarnya dan berbentuk aktuil. (Mampu
menangkap konsep-konsep).
-
Akal Mustafad, yaitu akal yang
telah dapat menangkap bentuk-bentuk semata atau arti-arti yang terlepas dari
materi, seperti halnya akal kesepuluh dan Tuhan.(Mampu menangkap inspirasi dan
mengadakan komunikasi yang diluar diri manusia yang kemudian disebut akal aktif
yang digambarkan dengan mata dan matahari).
Bagi al-Farobi, para nabi mempunyai
kemampuan untuk berkomunikasi dengan akal kesepuluh tanpa harus berupaya keras
dalam melakukannya, karena nabi adalah manusia pilihan. Para filosof
berkomunikasi dengan akal kesepuluh melalui akal mustafad, namun berbeda halnya
dengan nabi yang diberi kemampuan daya imajinasi yang begitu kuat untuk
menjangkau akal kesepuluh. Karena kesemuanya itu didapat dari akal kesepuluh
maka, wahyu dan filsafat tidaklah bertentangan.
D.
PENUTUP
Falsafat adalah salah satu jalan yang
menawarkan rasionalitas kebenaran sebagai pilihan untuk menemukan makna hidup
dan membangun pandangan dunia. Falsafat adalah kerangka yang menitiskan beragam
jawaban akan pertanyaan asasi eksistensialis. Demikian halnya dengan agama, yang
bertujuan untuk menjadi jalan kebenaran, namun akal dan rasionalitas bukan
satu-satunya jalan yang dikehendaki oleh agama. Dogma agama, senantiasa
mensyaratkan iman bagi setiap pemeluknya, dan dimensi akliah manusia harus dinafikan
terlebih dahulu sehingga lantas bisa beranjak pada keluhuran derajat iman.
E.
KESIMPULAN
Al-Farabi adalah seorang filosof Islam
yang membawa wacana filsafat secara lebih mendalam. Ia mendirikan filsafat
Islam yang kemudian banyak diikuti oleh filosof Islam yang lain sehingga beliau
juga diberi gelar Guru Kedua. Sumbangannya keilmuan dan politik telah banyak
memberi manfaat dan tidak diragukan lagi diantara filosof-filosof Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Harun
Nasution, Falsafat dan Mistisme dalam
Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1973.
Posting Komentar