BREAKING NEWS

Blogger news

Rabu, 16 Oktober 2013

MEREFLEKSI PERGERAKAN SOSIAL MERUJUK PADA ASAL USUL ISLAM

MEREFLEKSI PERGERAKAN SOSIAL MERUJUK PADA

ASAL USUL ISLAM


 “… orang-orang kafir dalam arti yang sesungguhnya adalah orang-orang yang menumpuk kekayaan dan terus membiarkan kedzaliman dalam masyarakat serta merintangi upaya-upaya menegakkan keadilan…” (Asghar Ali Engineer, 1987).
Berbicara tentang asal-usul Islam, maka kita harus mencoba menilik situasi Makkah pada masa itu. Pada akhir abad kelima, Makkah menjadi pusat perdagangan dan pusat pertemuan para pedagang dari kawasan Laut Tengah, Teluk Parsi dan Laut Merah sehingga membuat Makkah berkembang pesat. Masyarakat Mekkah berdagang berdasarkan pada sirkulasi produk, bukan pada sirkulasi produksi. Masyarakatnya pada saat itu mengembangkan lembaga-lembaga kepemilikan pribadi, menumpuk kekayaan sehingga pemusatan kekayaan ini menyebabkan sebagian masyarakat kecil semakin tertindas dan terjebak dalam proses sosial yang tak terhindarkan, yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin. (Seperti halnya para pemilik modal yang telah menguasai aset-aset bangsa Indonesia saat ini dengan model penjajahan yang baru).
Tuhan menjanjikan akan mengutus seorang pembimbing atau seorang pemberi peringatan ketika suatu masyarakat menghadapi krisis moral dan krisis sosial. Begitu pula Muhammad yang dipilih sebagi instrument  kemahabbijaksanaan tuhan untuk melepas belenggu krisis sosial yang terjadi di Mekkah (Arab). Kaum hartawan Mekkah tidak mau menerima ajaran ketauhidan yang disampaikan oleh nabi. Hal ini bukan karena ajaran yang dibawa oleh nabi bertentangan dengan ajaran mereka (menyembah berhala), melainkan karena ajaran nabi berimplikasi pada bidang sosial ekonomi yang menghalangi kepentingan-kepentingan para hartawan Mekkah tersebut. Dengan tegas Al-Quran mencela penumpukan (monopoli) kekayaan yang dilakukan oleh hartawan Mekkah (Lihat QS. Al Humazah :1-7), dan banyak dalil Al-Quran yang melarang adanya monopoli dan penjajahan dalam berbagai bentuk.
           Merekalah yang pada akhirnya disebut orang kafir yang diperangi oleh nabi, pada hakikatnya mereka tidak mempersoalkan tauhid, tetapi mereka melawan nabi karena kepentingan sosial ekonomi yang direposisi oleh sang revolusioner Muhammad. Sudah saatnya kita bercermin dan berhenti mengkafirkan kawan sendiri, karena yang kafir adalah mereka yang menguasi dan memonopoli sistem dan sirkulasi sosial ekonomi. Saat ini yang terpenting adalah bersatu atas nama Islam, dan meninggalkan atribut-atribut golongan, untuk melakukan transformasi sosial bersama. Jika satu diantara kita mulai membenahi dari hal terkecil dengan niat yang tulus, maka esok akan ada sejuta pemuda yang melakukan hal yang sama. YAKUSA (Yakin Usaha Sampai).
Fachri Sakti Nugroho. Tribute to Asghar Ali Engineer.

Selasa, 15 Oktober 2013

AL GHOZALI


FILOSOF ISLAM AL-GHOZALI
Oleh : Fachri Sakti Nugroho

A.    PENDAHULUAN
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali yang populer dengan gelar Hujjatul Islam dan Zainuddin lahir pada tahun 450 H/1058 M di kota Thus yang merupakan salah satu kota di Khurasan. Ada yang berpendapat bahwa dia lahir di Ghazalah yang terletak di ujung Thus. Ayahnya yang miskin bekerja sebagai tukang tenun sutera. Setelah dewasa Al-Gazali dan adiknya pernah dititipkan oleh ayahnya pada seorang sufi yang miskin. Namun karena masalah biaya hidup, sufi tersebut menyerahkan keduanya ke salah satu sekolah yang didirikan oleh Nizham al-Mulk yang dapat menyediakan asrama dan biaya hidup bagi para pelajar.
Beliau kemudian pindah ke Jarjan pada usia belum mencapai usia sepuluh tahun untuk mempelajari ilmu-ilmu agama, bahasa Persia dan bahasa Arab. Setelah itu dia kembali ke Thus dan menetap selama tiga tahun. Pada tahun 470 H dia pergi ke Nisabur dan berguru kepada Dhiyauddin al-Juwaini, Imam al-Haramain dan kepada madrasah Nizhamiyah. Pada saat itu dia mempelajari fiqih, ushul, ilmu kalam, ilmu debat, logika, dan filsafat. Saat itulah ia mulai menulis dan mengajar hingga dia menjadi orang yang cukup disegani pada masa  hidup gurunya, al-Juwaini imam al-haramain.
Al-Ghazali pergi ke Muaskar pada usia 28 tahun. Kemudian dia bertemu Nizham al-Mulk yang menawariya untuk mengajar di madrasah. Kemudian pada tahun 487 H, Khalifah al-Mustadhir meminta al-Ghazali untuk menaggapi pemikiran kaum ismailiyah yang kuat pada saat itu, yang terkenal dengan sebutan al-bathiniyah atau at-ta’limiyah. Beliau menulis tiga bukku untuk menanggapi maslah tersebut.
Al-Ghazali pernah mengalami krisis kepercayaan, beliau ragu apakah ilmu yang dipelajarinya mampu mengantarnya menuju keyakinan. Dari itu kemudian beliau terdorong untuk mempelajari filsafat, ilmu kalam, bathiniyah atau ta’limiyah dan tasawuf. Namun menurutya filsafat, ilmu kalam, dan bathiniyah tidak dapat mengantarkan seseorang menuju pengetahuan tingkat yakin (al-ma’rifat al-yaqiniyah). Dia juga mengatakan bahwa indera dan akal tidak dapat mengantarkan seseorang menuju pengetahuan hakikat (al-ma’rifat al-haqiqah). Terkecuali tasawuf, dia perpendapat bahwa hanya ilmu sufistik merupakan jalan kebenaran untuk mencapai al-ma’rifat al-yaqiniyah.


B.     Metafisika Al-Ghozali
Dalam filsafat metafisikia ini al-Ghozali meenuliskan pemikirannya dalam kitab Tahafutul Falasifah. Dalam buku itu Al-Ghazali menghantam pendapat-pendapat filsafat Yunani, diantaranya juga Ibnu Sina, dalam dua puluh masalah. Diantaranya yang terpenting ialah[1]
-          Al-Ghazali melawan dalil dalil filsafat (aristoteles) tentang azalinya alam dan dunia. Al-Ghozali berpendapat bahwa alam (dunia) berasal dari tidak ada menjadi ada sebab diciptakan Tuhan.
-          Al-Ghazali melawan pendapat kaum filsafat (aristoteles) tentang pastinya keabadian alam. Ia berpendapat bahwa soal abadi atau tidaknya alam adalah terserah pada tuhan semata, dan bukanlah suatu kepastian harus adanya keabadian alam disebabkan oleh dirinya sendiri diluar iradat tuhan.
-          Al-Ghazali melawan pendapat kaum filsafat bahwa tuhan hanya mengetahui soal-soal yang besar saja, tetapi tidak mengetahui hal-hal yang kecil (juz iyat).
-          Al-Ghazali juga menetang pendapat  bahwa segala sesuatu terjadi dengan kepastian hukum sebab akibat semata, dan mustahil jika menyeleweng dari hal tersebut. Baginya kausalitas tersebut hanyalah kebiasaan belaka, dan bukan hokum pasti. Dalam hal ini pendapat beliau sepaham dengan ijraul adat dari Al-Asy’ari.
Al-Ghazali terkenal sebagai ulama mantik dan pemberi tuntunan dalam cara ber-mujadalah yang sistematis. Beliau menjatuhkan kaum filsafat dengan dalil la yasdurruminal-wahid illa syaiun wahid yang dikemukakan oleh kaum filsafat sendiri. “Jisim tersusun dari bentuk dan materi pertama.” Dan susunan yang dualitas ini menjadikannya tidak wahid lagi. Manusia tersusun dari jisim  dan jiwa, sedangkan kedua unsure itu tidak illat satru sama lain. Dalam keadaan inilah (dualitas) , unsure yang bersama-sama, merupakan illat bagi wujud yang lain.

C.    Iradat Tuhan
Menurut Al-Ghazali, dunia ini berasal dari iradat (kemauan) Tuhan. Iradat inilah yang diartikan sebagai penciptaan. Dalam iradat ini menghasilkan dua ciptaan yaitu, undang-undang dan zarah-zarah (atom-atom) yang abstrak yang kemudian saling menyesuaikan dan menjadi dunia dan kebiasaannya. Iradat tuhan mutlak, bebas dari ikatan ruang dan waktu, tetapi dunia yang diciptakan itu seperti yang dapat diungkap dan dikesankan pada akal manusia terbatas dalam pengertian ruang dan waktu, dan masuk ke dalam pengertian materialis. Al-Ghazali berpendapat  bahwa tuhan adalah transenden dan kemauan iradatnya iamnen diatas dunia ini, dan menjadi sebab hakiki dari segalanya.
Al-Ghazali kukuh bahwa tuhan itu tidak terikat pad hokum kausalitas, melainkan ijra’ul adat dan bisa menyimpang dari kebiasaan sebab akibat. Tuhan bukan memindahkan soal yang satu (factor sebab) kepad soal yang lain(factor akibat), melainkan menciptakan dan menghaancurkan nya, dan akhirnya menciptakan hal yang baru sama sekali dalam mengartikan sebab kepada akibat itu.[2]


D.    Tiga Persoalan Metafisika yang Berlawanan dengan Islam

a.      Qodimnya Alam
Para filosof mengatakan bahwa qodim tuhan atas alam sama dengan qodimnya illat atas ma’lulnya (sebab akibat), yaitu dari segi zat dan tingkatan, bukan dari segi zaman. Ada beberapa alasan dan jawaban yang dikemukakan beliau, yaitu antara lain :
-          Alasan pertama
Alasan yang pertama adalah, tidak mungkin wujud atau alam keluar dari yang qodim (tuhan), karena jika demikian maka dapat dikatakan bahwa yang qodim itu sudah ada, sedangkan alam belum ada.
Tentang alam yang belum wujud, disebutkan pula bahwa pada waktu itu hal-hal yang menyebabkan wujudnya alam belum ada, jadi alam merupakan sebuah kemungkinan. Sesudah waktu datang maka alam menjadi wujud dan perwujudan ini disebabkan karena factor-faktor yang mewujudkannya. Namun akan timbul pertanyaan kenapa factor tersebut baru ada pada waktu itu. Jika dikatakan bahwa tuhan tidak berkehendak mengadakan alam, kemudian menjadi berkuasa untuk mengadakannya, maka akan timbul pertanyaan mengapa kekuasaan itu baru timbul pada masa itu, dan tidak muncul sebelumnya.
Jika dikatakan bahwa tuhan sebelumnya tidak mempunyai tujuan bagi wujudnya alam, kemudian maksud ini timbul, kenapa tujuan itu timbul. Atau jika dikatakan bahwa tuhan mula-mula tidak menghendaki adanya, maka kenapa tiba-tiba wujud itu timbul, dan darimana timbulnya. Apakah pada zatNya, atau selain zatNya. Jika pada zatNya, tuhan itu tidak menjadi tempat perkara yang baru, jika timbul pada selain zatNya, berarti bukan tuhan yang mempunyai kehendak, melainkan berasal dari zat lain tersebut.
-          Jawaban Al-Ghazali
Dianalogikan bahwa kalau iradat itu sama seperti halnya niat mengadakan suatu perbuatan, maka perbuatan tersebut tidak mungkin terlamabat kecuali ada halangan. Jawab Al-Ghazali ialah bahwa arti iradat itu yang membedakan untuk membedakan sesuatu dari yang lainnya. Kehendak tuhan itu mutlak, tidak terikat waktu dan merupakann kehendakNya. Kalau ditanyakan sebabhnya, maka kehendak tuhan itu terbatas.
-          Alasan kedua
Tuhan terlebih dulu daripada alam dari segi zat dan bukan zaman, seperti halnya angka 1 yang lebih dulu dripada angka 2, dan seperti lebih dahulunya gerakan daripada bayangannya, sedangkan kedua gerakan tersebut sebenarnya sama dari segi zaman. Kalau yang dimksud dengan terlebih ahulunya tuhan atau ala mini ialah dari segi zaman, maka ;
-          Tuhan dan alam baru kedua-duanya,
-          Tuhan dan alam qodim kedua-duanya, mustahil keduanya qodim, sedangkan yang lainnya baru.
-          Jawaban Al-Ghazali
Tuhan lebih dahulu adanya daripada alam dan zaman ialah bahwa tuhan sudah ada sendirian, sedangkan alam belum lagi ada, kemudian tuhan ada bersma alam. Sebelum adal alam tentu belum ada zaman.
-          Alasan ketiga
Harus ada benda baru dikatakan ada yang baru, dan keduanya tak bisa terlepaskan. Yang baru hanyalah surah (form), aradl (sifat-sifat) dan cara-cara atau peristiwa yang mendatangkan benda. Sebelum terjadinya hal yang baru itu, tidak lepas dari tiga sifat :
-          Mungkin (bisa) wujud
-          Tidak mungkin bisa wujud
-          Wajib (mesti) wujud
Sifat yang kedua dan ketiga tidak mungkin adanya karena alam ini ada dan kemudian tidak ada dan sebaliknya. Satu-satunya yang mungkin adlah yang pertama, yaitu mungkin wujud dan hal ini memerlukan perkara lain hingga menjadi wujud.
-          Jawaban Al-Ghazali
Sifat mungkin wujud tersebut adalah sifat proporsi pikiran, sesuatu yang dikira –kira oleh akal. Untuk menguatkan ini Al-Ghazali mengemukakan dua hal :
-          Kalau sifat mungkin memerlukan suatu wujud untuk menjadi tempatnya (disifatinya). Maka sifat sifat tidak mungkin wujud juga memerlukan suatu perkara untuk dapat dikatakan bahwa perkara ini tidak mungkin wujud, sedangkan tidak mungkin wujud tidak memerlukan adanya wujud atau bendanya yang ditempati sifat tersebut.
-          Akal memutuskan tentang warna hitam dan putih sebelum wujudnya, dan kedua warna ini mungkin bisa terjadi. Jika sifat mungkin dipertalikan dengan benda yang ditempati kedua warna tersebut sehingga dapat dikatakan, benda tersebut dapat dihitam atau diputihkan, maka artinya hitam dan putih itu sendiri tidak mungkin dan tidak mempunyai sifat tidak mungkin, karena yang mungkin adalah bendanya, dan sifat mungkin menjadi sifatnya.
Maka dapat dikatakan bahwa warna tersebut bersifat mungkin. Jadi, akal pikiran kita mengatakan mungkinnya sesuatu tidak memerlukansesuatu zat wujud yang bisa ditempati sifat tersebut.
b.      Ilmu Tuhan terhadap Hal-hal Kecil
Para filsuf menagtakan  bahwa tuhan tidak mengetahui hal-hal yang kecil, kecuali dengan cara umum. Mereka beralasan bahwa yang baru ini dengan segala peristiwanya selalu berubah sedangkan ilmu selalu mengikuti apa yang diketahui. Jika demikian maka tuhan berarti berubah-ubah, sedangkan hal itu mustahil.
Untuk memperjelas hal itu , al-Ghozali menganalogikan dengan peristiwa gerhana matahari yang mempunyai tiga keadaan :
-          Keadaan ketika gerhana tidak ada, tapi akan datang.
-          Keadaan ketika terjadi gerhana, artinya gerhana sedang berlangsung
-          Keadaan ketika gerhana tidak ada, tetapi sebelumnya sudah terjadi
Mengenai keadaan tersebut terdapat pula tiga pengetahuan yang berbeda-beda :
-          Kita tahu bahwa gerhana itu tidak ada kemudian ada
-          Kita mengetahui gerhana itu sedang terjadi
-          Kita mengetahui bahwa gerhana sudah terjadi dan sekarang sudah tidak lagi
Ketiga pengetahuan tersebut mengalami perubahan, terbilang dan berbeda-beda, namun para filosof beranggapan bahwa tuhan pada ketiga peristiwa tersebut tidak berbeda-beda. Bagi zat yang tidak berubah keadaannya, tidak akan terbayang bahwa dia mengetahui ketiga peristiwa, karena pengetahuan mengikuti objek. Jika objek berubah-ubah maka pengetahuan akan berubah-ubah, dan kalau ilmu berubah maka zat yang mengetahui juga berubah, sedangkan tuhan mustahil untuk berubah.
-          Jawaban Al-Ghazali
Al-Ghazali berpendapat bahwa ilmu adalah tambahan atau pertalian dengan zat, artinya lain daripada zat. Pendapat ini berbeda dengan pendapat para filosof yang mengatakan bahwa sifat-sifat tuhan adalah juga zatnya, tidak ada pemisahan dan tidak ada tambahan.
Menurut Al-Ghozali jika terjadi perubahan pada tambahann tersebut, maka zat tuhan tetap. Juga dikatakan jika objek ilmu itu banyak apakah tuhan juga juga banyak zat. Para filosof yang mengatakan bahwa ala mini qodim dan mengakui adanya perubahan yang ada didalamnya, berarti mereka juga mengakui perubahan pada yang qodim, akan tetapi mereka tidak mengakui perubahan pada tuhan yang qodim pula.
c.       Kebangkitan Jasmani
 Menurut para filosof, alam akhirat adalah alam kerohanian dan bukan alam material. Kesemuanya itu memang disebutkan dalam Al-Quran dengan maksud untuk memudahkan pemahaman. Keunggulan alam kerohanian sebenarnya juga berlaku didunia ini, namun  tidak dapat dicapai karena kesibukkan materinya. Agar sesuai denga suasana kerohanian, maka kebangkitan di akhirat nanti bersifat rohaniah pula, dan tidak perlu adanya kebangkitan jasmani. Dalam mengemukakan alasan ini, mereka menyatakan bahwa pengembalian badan memiliki tidak daripada tiga kemungkinan :
-          Manusia terdiri atas badan dan kehidupan sedang jiwa adalah berdiri sendiri dan tak berwujud. Pengertian mati adalah tuhan tidak lagi member hidup, maka arti dari kebangkitan adalah tuhan memberi kehidupan kembali. Dengan kata lain, badan manusia setelah menjadi tanah dikumpulkan dan disusun kembali menurut bentuk manusia  dan diberkan hidup kepadanya. Kemungkinan pertama ini tidak dibenarkan karena pengertian menjadikan kembali adalah membuat apa yang sudah ada, bukan membuat apa yang sudah ada itu sendiri.
-          Dapat dikatakan pula jiwa ini tetap wujud sesudah mati, tetapi nanti badan yang pertama dikembalikan lagi dengan lengkap. Hal ini juga tidak dibenarkan karena badan akan hancur dimakan cacing saat dikuburkan dan sukar dikumpulkan kembali. Jika mengatakan hal ini bisa terjadi dengan kekuasaan tuhan, akan terjadi masalah jika nanti ada kanibalisme, dimana dalam satu badan, tetapi manusianya dua.
-          Juga dikatakan pula jiwa dikembalikan ke badan, baik badan secara lengkap maupun pada badan lain sama sekali. Jadi, yang dikembalikan adalah manusianya, bukan badannya, sedangkan manusia dianggap manusia karena jiwanya, bukan karena badannya. Hal ini juga tidak dibenarkan karena benda-bendanya itu terbatas banyaknya, sedangkan jiwa tidak terbatas. Jika kita menerima pikiran ini maka kita mengakui adanya reinkarnasi jiwa.
-          Jawaban Al-Ghazali
Jawaban al-Ghazali lebih condong pada kemungkinan ketiga yang banyak didasarkan atas alasan syara’ dan bukan pada pemikiran. Dia mengatakan jiwa manusia tetap wujud setelah mati, karena ia merupakan substansi yang berdiri sendiri. Kemudian ada penjelasan pula akan adanya kebangkitan badan. Kebangkitan ini menjadi hal yang  mungkin karena pengembalian jiwa kepada badan baik badan pertama maupun yang lainnya, atau bahkan badan yang baru diciptakan, karena hakikatnya manusia adalah jiwanya.
Tentang terbatasnya benda dan tidak terbatasnya jiwa, tidak dapat dibenarkan. Karena menurut filosof alam itu qodim, sedangkan jiwa itu baru, jadi jiwa tidak mungkin lebih banyak daripada benda-benda itu. Tentang perpindahan jiwa memang tidak dibenarkan oleh al-Ghazali, tapi tentang kebangkitan jasmani dipercayainya, baik disebut transmigrasi jiwa atau bukan, selama hal ini disebutkan dalam agama. Tuhan mampu menciptakan manusia dari sperma, maka denga kekuasaannya tuhan akan mampu menciptakan manusia dari tulang belulang.


E.      PENUTUP
Falsafat adalah salah satu jalan yang menawarkan rasionalitas kebenaran sebagai pilihan untuk menemukan makna hidup dan membangun pandangan dunia. Falsafat adalah kerangka yang menitiskan beragam jawaban akan pertanyaan asasi eksistensialis. Demikian halnya dengan agama, yang bertujuan untuk menjadi jalan kebenaran, namun akal dan rasionalitas bukan satu-satunya jalan yang dikehendaki oleh agama. Dogma agama, senantiasa mensyaratkan iman bagi setiap pemeluknya, dan dimensi akliah manusia harus dinafikan terlebih dahulu sehingga lantas bisa beranjak pada keluhuran derajat iman.


F.     KESIMPULAN
Al-Ghozali adalah filosof Islam yang berpegang teguh pada agama yang membawa nilai-nilai kerohanian serta moral. Tujuannya dalam berpikir kritis ini adalah untuk menghidupkan semangat islam


DAFTAR PUSTAKA
Drs. Poerwantana DKK, Seluk-Beluk Filsafat Islam, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1994.


[1] Drs. Poerwantana DKK, Seluk-Beluk Filsafat Islam, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1994.
[2] Drs. Poerwantana DKK, Seluk-Beluk Filsafat Islam, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1994.

AL FARABI


FILOSOF AL-FARABI
Oleh : Fachri Sakti Nugroho

A.    PENDAHULUAN
Nama asli al-Farabi adalah Abu Nasr Muhammad al-Farabi, beliau lahir di Wasij, suatu desa di Farab (Transoxania) pada tahun 870 M. Al-Farabi dalam sumber-sumber Islam lebih akrab dikenal sebagai Abu Nasr. Iavberasal dari keturunan Persia. Ayahnya Muhammad Auzlagh adalah seorang Panglima Perang Persia yang kemudiaan menetap di Damsyik8 Ibunya berasal dari Turki. Oleh karena itu ia biasa disebut orang Persia atau orang Turki. Al-Farabi disepakati sebagai peletak sesungguhnya dasar piramida studi falsafah dalam Islam yang sejak itu terus dibangun dengan tekun.
Al-Farabi hidup ditengah kegoncangan masyarakat dan politik Islam. Pemerintah pusat Abbasiyah di Baghdad sedang berada di dalam kekacauan di bawah pimpinan khalifah-khalifah Radli, Muttaqi, Mustakfi. Saat itu bermunculan negara-negara di daerah yang mengambil alih kekuasaan. Sebagai seorang filosof muslim beliau sebenarnya tidak begitu aktif di dunia poitik, tetapi beliau memberikan kontribusi pemikiran dengan menulis buku politik untuk memperbarui tata Negara yang saat itu sedang kacau. Pembaruan itu menurutnya hanya dapat berhasil bila berakar kokoh dalam fondasi filsafat.
Para ahli sepakat memberikan pujian yang tinggi kepadanya, banyak diantara mereka yang memberi sebutan Guru Kedua setelah Aristoteles, terutama sebagai ahli logika yang masyhur dan juru bicara Plato dan Aristoteles pada masanya. Beliau belajar kepada Abu Bisyr Matta ibn Yunus selama dua puluh tahun, kemudian pindah ke Damaskus. Di sini ia berkenalan dengan Gubernur Aleppo, Saifuddaulah al-Hamdani. Gubernur ini sangat terkesan dengan al-Farabi, lalu diajaknya pindah ke Aleppo dan kemudian mengangkat al-Farabi sebagai ulama istana. Disini beliau banyak mengarang buku dan menghabiskan sisa hidupnya. Beliau meninggal pada tahun 950 M dalam usia 80 tahun.


B.     FALSAFAT EMANASI AR-RAZI
Dengan filsafat emanasi al-Farabi mencoba menjelaskan bagaimana yang banyak bisa timbul dari Yang Esa. Tuhan bersifat Maha Esa, tidak berubah, jauh dari materi, Maha Sempurna dan tidak berhajat pada apapun.[1] Kalau demikian hakikat sifat Tuhan bagaimana terjadinya alam materi yang banyak ini dari yang Maha Satu. Emanasi merupakan solusinya bagi al-Farabi. Proses emanasi itu adalah sebagai berikut. Tuhan sebagai akal, berpikir tentang diri-Nya, dan dari pemikiran ini timbul satu maujud lain. Tuhan merupakan wujud pertama dan dengan pemikiran itu timbul wujud kedua, dan juga mempunyai substansi. Ia disebut Akal Pertama (First Intelligent) yang tak bersifat materi. Wujud kedua ini berpikir tentang wujud pertama dan dari pemikiran ini timbullah wujud ketiga, disebut Akal Kedua.
Wujud II atau Akal Pertama itu juga berpikir tentang dirinya dan dari situ timbul langit pertama.
Wujud III atau Akal II ------ Tuhan = Wujud IV/Akal Ketiga
------ dirinya = Bintang-bintang
Wujud IV/Akal III ------ Tuhan = Wujud V/Akal Keempat
------ dirinya=Saturnus
Wujud V/Akal IV ------ Tuhan =Wujud VI/Akal Kelima
------ dirinya=Jupiter
Wujud VI/Akal V ------ Tuhan=Wujud VII/Akal Keenam
------ dirinya=Mars
Wujud VII/AkalVI ------ Tuhan=Wujud VIII/Akal Ketujuh
------ dirinya=Matahari
Wujud VIII/Akal VII ------ Tuhan=Wujud IX/Akal Kedelapan
------ dirinya=Venus
Wujud IX/AkalVIII ------ Tuhan=Wujud X/Akal Kesembilan
------ dirinya=Mercury
Wujud X/Akal IX ------ Tuhan=Wujud XI/Akal Kesepuluh
------ dirinya=Bulan
Pada pemikiran Wujud IX/Akal Kesepuluh ini berhenti terjadi timbulnya akal-akal. Tetapi dari Akal Kesepuluh muncullah bumi serta roh-roh dan materi pertama yang menjadi dasar dari keempat unsur api, udara, air dan tanah.[2] Al farabi mengatakan bahwa alam ini baru dan tak mempunyai permulaan dalam waktu, yaitu tidak terjadi secara berangsur-angsur, tetapi sekaligus dengan tak terpaut waktu. Beliau menjelaskan munculnya segala sesuatu dengan tidak serta merta hanya melalui Kun Fayakun seperti pemahaman tradisional. Segala sesuatu dari Wujud Pertama dalam suatu cara yang sangat sistematis.
Al-Farabi membagi ilmu yang berkaitan dengan emanasi ini menjadi dua, yaitu konsepsi.
·         tasawwur mutlak, diantara konsep itu ada yang baru sempurna apabila didahului oleh yang sebelumnya sebagaimana tidak mungkin menggambarkan benda tanpa menggambarkan panjang, lebar dan dalam tiga dimensi. Konsep tersebut tidak mesti diperlukan pada setiap konsep, melainkan harus berhenti pada suatu konsep yang penghabisan yang tidak mungkin dibayangkan adanya konsep yang sebelumnya, seperti konsep tentang wujud, wajib dan mungkin. Kesemuanya ini tidak memerlukan adanya konsep yang sebelumnya, karena konsep-konsep tersebut adalah pengertian-pengertian yang jelas dan benar dan terdapat dalam pikiran.
·         Keputusan pikiran (judgment-tasdiq), maka diantaranya ada yang tidak bisa diketahui, sebelum diketahui hal-hal sebelumnya. Seperti pengetahuan bahwa alam ini baru. Untuk itu diperlukan terlebih dahulu adanya putusan bahwa alam ini tersusun, dan tiap yang tersusun berarti baru. Ini adalah hukum-hukum pikiran dasar dan yang jelas dalam akal, seperti halnya dengan hukum yang mengatakan bahwa keseluruhan lebih besar dari sebagian. Kesemuanya ini adalah pikiran-pikiran yang terdapat dalam akal dan yang bisa dikeluarkan sebagai pengingatan karena tidak ada sesuatu yang lebih terang dari padanya dan tidak perlu dibuktikan karena sudah jelas dengan sendirinya. Juga hukum-hukum tersebut memberikan keyakinan dan dasar.


C.    JIWA, AKAL DAN KENABIAN
Jiwa dan akal manusia bagi al-Farabi berasal dari akal kesepuluh, dan seperti halnya dengan Aristoteles, beliau juga berpendapat bahwa jiwa mempunyai daya-daya :
1.      Gerak, yang terdiri dari :
-          Makan
-          Memelihara
-          Berkembang
2.      Mengetahui, yang terdiri dari :
-          Merasa
-          Imajinasi
3.      Berpikir
-          Akal Praktis
-          Akal teoritis
Sedangkan daya berpikir dibagi menjadi tiga tingkatan :
-          Akal Potensil, yaitu mampu melepaskan arti-arti atau bentuk-bentuk dari materinya. (Mampu ditangkap panca indera).
-          Akal Aktuil, yaitu mampu melepaskan arti-arti atau bentuk-bentuk dari materinya, dan arti itu telah mempunyai wujud dalam akal yang sebenarnya dan berbentuk aktuil. (Mampu menangkap konsep-konsep).
-          Akal Mustafad, yaitu akal yang telah dapat menangkap bentuk-bentuk semata atau arti-arti yang terlepas dari materi, seperti halnya akal kesepuluh dan Tuhan.(Mampu menangkap inspirasi dan mengadakan komunikasi yang diluar diri manusia yang kemudian disebut akal aktif yang digambarkan dengan mata dan matahari).
Bagi al-Farobi, para nabi mempunyai kemampuan untuk berkomunikasi dengan akal kesepuluh tanpa harus berupaya keras dalam melakukannya, karena nabi adalah manusia pilihan. Para filosof berkomunikasi dengan akal kesepuluh melalui akal mustafad, namun berbeda halnya dengan nabi yang diberi kemampuan daya imajinasi yang begitu kuat untuk menjangkau akal kesepuluh. Karena kesemuanya itu didapat dari akal kesepuluh maka, wahyu dan filsafat tidaklah bertentangan.



D.    PENUTUP
Falsafat adalah salah satu jalan yang menawarkan rasionalitas kebenaran sebagai pilihan untuk menemukan makna hidup dan membangun pandangan dunia. Falsafat adalah kerangka yang menitiskan beragam jawaban akan pertanyaan asasi eksistensialis. Demikian halnya dengan agama, yang bertujuan untuk menjadi jalan kebenaran, namun akal dan rasionalitas bukan satu-satunya jalan yang dikehendaki oleh agama. Dogma agama, senantiasa mensyaratkan iman bagi setiap pemeluknya, dan dimensi akliah manusia harus dinafikan terlebih dahulu sehingga lantas bisa beranjak pada keluhuran derajat iman.

E.     KESIMPULAN
Al-Farabi adalah seorang filosof Islam yang membawa wacana filsafat secara lebih mendalam. Ia mendirikan filsafat Islam yang kemudian banyak diikuti oleh filosof Islam yang lain sehingga beliau juga diberi gelar Guru Kedua. Sumbangannya keilmuan dan politik telah banyak memberi manfaat dan tidak diragukan lagi diantara filosof-filosof Islam.

DAFTAR PUSTAKA
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisme dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1973.



[1] Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, 1973.
[2] Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, 1973.
 
Copyright © 2014 belajar dan bertelur. Designed by OddThemes | Distributed By Gooyaabi Templates