BREAKING NEWS

Blogger news

Entertainment

Technology

Travelling

Kamis, 27 November 2014

RANGKUMAN (MASIH) SINGKAT



RANGKUMAN SANGAT SINGKAT PENJELASAN BAB INDIVIDU DAN MASYARAKAT, BAB KEADILAN SOSIAL DAN KEADILAN EKONOMI, BAB KEMANUSIAAN DAN ILMU PENGETAHUAN,
KESIMPULAN DAN PENUTUP

“Telah diterangkan dimuka, bahwa pusat kemanusiaan adalah masing-masing pribadinya dan bahwa  kemerdekaan pribadi adalah hak asasinya yang pertama.  Tidak sesuatu yang lebih berharga  daripada kemerdekaan itu. Juga telah dikemukakan bahwa manusia hidup dalam suatu bentuk hubungan tertentu dengan dunia sekitarnya, sebagai mahkluk sosial, manusia tidak mungkin memenuhi kebutuhan kemanusiaannya dengan baik tanpa berada ditengah sesamanya dalam bentuk-bentuk hubungan tertentu. Maka  dalam masyarakat itulah kemerdekaan asasi diwujudkan.” (Teks NDP BAB INDIVIDU DAN MASYARAKAT)
Berawal dari ini penulis melihat bahwa hubungan individu dan masyarakat bukanlah suatu hubungan yang saling membebani, atau hubungan cari untung sendiri baik dari individu dalam masyarakat, maupun masyarakat yang didiami individu. Individu dalam hal ini adalah seorang manusia yang hidup diantara kelompoknya, jelaslah dia seorang manusia, maka dari sini kita mesti sepakati definisi manusia itu sendiri. Kita banyak ditawari oleh barat tentang teori humanisme untuk mendapat jawaban tentang definisi manusia, sayangnya tidak akan saya bahas disini. Saya menawarkan untuk mendefinisikan manusia dari asal muasal penciptaannya yang diceritakan dalam Al-Quran.
Bermula ketika tuhan memberitahu malaikat, bahwa dia ingin menciptakan WAKILNYA DI MUKA BUMI. Kata wakil disini menunjukkan kemuliaan yang sangat tinggi dari pandangan Islam terhadap manusia. Dan malaikatpun bertanya apakah tuhan akan menciptakan makhluk yang akan menumpahkan darah di muka bumi... dan seterusnya. Disini kita tarik bersama, bahwa manusia tercipta di dunia untuk tugas suci dan mulia. Dan tugas suci ini hanya dapat dijalankan dengan melakukan kebaikan-kebaikan (sebagai WAKILNYA) kepada sesamanya (DI MUKA BUMI).
Dalam cerita Al-Quran ini dapat kita jadikan refleksi arah gerak untuk menjelaskan hubungan individu dan masyarakat. Bahwasanya tugas individu untuk mencapai kesempurnaan penciptaan (dalam bahasa NDP manusia merdeka) adalah sebagai wakilNya yang membawa kesejahteraan di muka bumi, dan tugas itu hanya bisa tercapai dengan saling TOLONG MENOLONG DAN KERJASAMA dalam kehidupan bermasyarakat, tentunya tanpa mengkebiri kemerdekaan orang lain. Tanpa itu, manusia bukanlah manusia yang sesungguhnya.
TOLONG MENOLONG DAN KERJASAMA ini akan dikaitkan dengan bab berikutnya. “Telah  kita  bicarakan  tentang  hubungan  antara  individu dengan  masyarakat  dimana  kemerdekaan  dan  pembatas kemerdekaan  saling  bergantungan,  dan  dimana  perbaikan kondisi masyarakat  tergantung pada perencanaan manusia dan usaha-usaha  bersamanya.  Jika  kemerdekaan  dicirikan  dalam bentuk  yang  tidak  bersyarat  (kemerdekaan  tak  terbatas) maka sudah  terang  bahwa  setiap  orang  diperbolehkan  mengejar dengan bebas segala keinginan pribadinya.  Akibatnya  pertarungan  keinginan  yang  bermacam-macam  itu  satu  sama  lain dalam kekacauan atau anarchi  (92:8-10).  Sudah  barang  tentu  menghancurkan  masyarakat  dan meniadakan  kemanusiaan  sebab  itu  harus  ditegakkan  keadilan dalam  masyarakat  (5:8).  Siapakah  yang  harus  menegakkan keadilan,  dalam  masyarakat?  Sudah  barang  pasti  ialah masyarakat  sendiri,  tetapi dalam prakteknya DIPERLUKAN ADANYA SATU  KELOMPOK  DALAM MASYARAKAT  yang  karena  kualitas-kualitas yang  dimilikinya  senantiasa  mengadakan  usaha-usaha menegakkan  keadilan  itu  dengan  jalan  selalu  menganjurkan sesuatu  yang  bersifat  kemanusiaan  serta mencegah  terjadinya sesuatu yang berlawanan dengan kemanusiaan (2:104)”(Teks NDP). DIPERLUKAN ADANYA SATU  KELOMPOK  DALAM MASYARAKAT kelompok yang dimaksud ini penulis arahkan ke NEGARA. Negara yang harus bertanggung jawab terhadap penegakkan keadilan karena merupakan wujud dari kedaulatan rakyat.
Masalah yang dialami anak-anak masa kini adalah mereka tidak sadar bahwa saat ini kita sedang tertindas, tidak sadar bahwa disekeliling mereka ada fakir miskin dan anak yatim. Maka penulis bukakan apa yang sebenarnya terjadi semampu pemahaman penulis yang terbatas ini.
Dimulai dengan pembukaan http://fachrisaktinugroho1.blogspot.com/2013/10/merefleksi-pergerakan-sosial-merujuk.html , dilanjutkan dengan bagaimana arus globalisasi negara di dunia berjalan, kemarin penulis contohkan dengan kasus kenaikan BBM yang menceritakan intervensi asing, desakan asing terhadap liberalisasi sektor migas, kebijakan-kebijakan titipan, kapitalisme dan neoliberalisme. Penulis menawarkan untuk mengambil sikap HIJRAH.
Hijrah disini berarti hijrah mindset alias meninggalkan konsumerisme, hedonisme, dan individualisme yang telah mencerabut akar kepribadian manusia yang seharusnya adalah WAKILNYA, hijrah dari zona nyaman menuju zona perjuangan.
Diceritakan pula tentang kisah embargo yang dilakukan kafir Quraisy terhadap Nabi, sikap politik Nabi, kebijakan Nabi dalam memimpin umat dalam krisis hingga Nabi memutuskan untuk hijrah dan perjanjian hudaibiyah. Maksudnya cerita ini adalah agar ketika berjuang pun tidak lantas koar-koar perang dan angkat senjata atau pindah negara, melainkan harus ada ideopolstratak untuk berjuang dan membakar semangat untuk tidak mudah menyerah pada penindasan.
Dari refleksi kisah-kisah itu, kita mengarah ke ayat Al-Quran yang turun menyerukan Sholat selalu bergandengan dengan seruan zakat. Implikasinya adalah ibadah transenden kita tak kan sempurna tanpa  melakukan ibadah kemanusiaan. Solusi yang ditawarkan dalam Al-Quran adalah zakat, zakat menjadi solusi untuk mengentaskan kemiskinan (singkatnya). Selain zakat, momen haji akan luar biasa manfaatnya ketika menjadi momen konsolidasi umat Islam di dunia setiap tahunnya, momen ini harus dimanfaatkan untuk bekerjasama melawan dominasi kapitalisme yang menyengsarakan.
Singkat! Masuk ke kemanusiaan dan ilmu pengetahuan. Untuk menjalankan tugas mulia manusia dan mencapai apa kesejahteraan, adil makmur yang dicita-citakan, dibutuhkanlah ilmu pengetahuan. Iman, Ilmu, Amal sebagai Kesimpulan dan penutup.
Maaf jika terlalu singkat. :D dalam penyampaiannya tak sesingkat ini. (FACHRI SAKTI NUGROHO)

Rabu, 25 Desember 2013

untuk kita selesaikan







PROBLEMATIKA SOSIAL DISAAT NILAI-NILAI LUHUR

MULAI DITINGGALKAN


Seiring dengan perjalanan waktu dan sejarah bangsa, kini apa yang telah diperjuangkan para pendiri dan pendahulu bangsa tengah menghadapi batu ujian keberlangsungannya. Pemahaman generasi penerus bangsa terkait nilai – nilai yang terkandung dalam empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara (Pancasila, UUD NRI Tahun 1945, NKRI dan Sesanti Bhinneka Tunggal Ika), semakin terdegradasi dan terkikis oleh derasnya nilai-nilai baru yang tidak sesuai dengan jati diri bangsa. Ironisnya, sementara nilai-nilai baru ini belum sepenuhnya dipahami dan dimengerti, namun nilai-nilai lama sudah mulai ditinggalkan dan dilupakan. Tanpa disadari, generasi penerus bangsa bergerak semakin menjauh dari Pancasila sebagai jati diri bangsa yang bercirikan semangat gotong royong. Akibatnya, terjadi dekadensi moral yang mengikis semangat perjuangan bangsa ini. Dekadensi moral menggiring bangsa ini pada jaman jahiliyah modern, menjadi permasalahan dan tantangan baru untuk bangsa ini menuju cita-citanya.
Secara etimologis, kata moral berasal dari kata mos dalam bahasa Latin, bentuk jamaknya mores, yang artinya adalah tata-cara atau adat-istiadat. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989 : 592), moral diartikan sebagai akhlak, budi pekerti, atau susila. Secara terminologis, terdapat berbagai rumusan pengertian moral, yang dari segi substantif materiilnyat idak ada perbedaan, akan tetapi  bentuk formalnya berbeda. Al-Ghazali (1994:31) mengemukakan pengertian akhlak, sebagai padanan kata moral, sebagai  perangai (watak, tabiat) yang menetap kuat dalam jiwa manusia dan merupakan  sumber timbulnya perbuatan tertentu dari dirinya secara mudah dan ringan, tanpa  perlu dipikirkan dan direncanakan sebelumnya.
Manusia yang tidak memiliki moral disebut amoral artinya dia tidak bermoral dan tidak memiliki nilai positif di mata manusia lainnya. Sehingga moral adalah hal mutlak yang harus dimiliki oleh manusia. Moral secara ekplisit adalah hal-hal yang berhubungan dengan proses sosialisasi individu, tanpa moral manusia tidak bisa melakukan proses sosialisasi. Ketika suatu bangsa mengalami dekadensi moral, maka akan hilang kepercayaan dari pihak lain, hilang prestasinya dimata dunia.
Masalah moral sudah tak terkendali lagi, pornografi, pelecehan seksual dan berbagai aksi kriminal sering terdengar beritanya di media massa. Belum lagi berita korupsi, kolusi dan nepotisme di jajaran petinggi negara. Faktor kemiskinan menjadi alasan utama dari berbagai tindak pelanggaran moral ini, selain dari faktor konsumerisme, hedonisme, dan materialisme. Kemiskinan menjadikan manusia mudah untuk berbuat khilaf dan melakukan tindak kejahatan untuk sekedar memenuhi kesenangan atau untuk memenuhi kebutuhan konsumsi hidupnya.
Disatu sisi sudah menjadi rahasia umum bahwasanya globalisasi dunia saat ini memunculkan gaya hidup kosmopolitan yang ditandai oleh berbagai kemudahan hubungan dan terbukanya aneka ragam informasi yang memungkinkan individu atau masyarakat mengikuti gaya-gaya hidup baru yang disenangi.[1] Selain berdampak positif, dampak buruk dari globalisasi ini adalah salah satu penyebab merosotnya moral bangsa. Segalanya kini mudah untuk diakses tanpa filter sehingga mempengaruhi masyarakat Indonesia untuk mengikuti budaya materialisme yang menggiring masyarakat menjadi bersifat  konsumerisme, dan hedonisme. Masyarakat lebih peduli dan khusyuk pada hal itu dibandingkan dengan agama dan Pancasila.
Fenomena yang lain dari dekadensi moral yang terjadi di Indonesia adalah konflik SARA yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia dan isu-isu gerakan separatis  yang ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Aksi terorisme yang mengatas namakan agamapun saat ini juga meresahkan dan mengancam negara. Hilangnya nilai luhur falsafah bangsa dan terkikisnya rasa cinta pada tanah air akan menjadi bom waktu yang suatu saat nanti akan meledak.
Islam dan Pancasila menawarkan solusi dalam hal ini. Dalam Islam, Rasulallah adalah sosok tauladan bagi umat muslim, segala tindakannya menjadi rujukan dalam mengambil dasar hukum karena beliau adalah manusia pilihan yang segala tingkah lakunya sudah diatur oleh tuhan untuk dijadikan panutan. Hukum tersebut membimbing manusia, baik terhadap diri sendiri maupun mengatur dalam hubungannya dengan sesama, baik dalam masyarakat Islam maupun di luar Islam. Kewajiban moral tersebut menunjukkan sifatnya yang formal dan ceremonial pada satu pihak, dan sifat moral dan zuhud pada pihak lain. Perpaduan antara spiritual dan keduniawian merupakan ciri khas iklim intelektual Islam.[2] Disamping hukum tuhan, hati sanubari seorang muslim merupakan suatu autoritas yang bersemayam dalam dadanya. Dari inilah manusia tertuntun menuju kesempurnaan moral dan ibadah (ritual). Iman, islam dan rasa (hati) membawa manusia pada kepercayaan atas setiap ajaran Islam, seperti tentang adanya hari kiamat dan hari pembalasan. Kepercayaan akan adanya hari kiamat dan hari pembalasan mendorong manusia untuk menghormati hukum, menjauhi mungkar dan mengajak pada kebaikan.
Selaras dengan Islam, aktualisasi Pancasila secara subyektif yang mengatur pada aspek moral dalam kaitannya dengan hidup bernegara dan bermasyarakat. Dasar filosofis sebagaimana yang terkandung dalam Pancasila yang nilainya terdapat dalam budaya bangsa, senantiasa mendasarkan hakikat sifat kodrat manusia yang monodualis, yaitu sebagai mahluk individu dan sekaligus mahluk sosial. Dari dasar ini Pancasila berbicara mengenai moral dengan membuat hukum yang mengatur manusia agar mendapatkan perlakuan sebaik-baiknya.[3] Sebagai Dasar Negara, Pancasila merupakan ideologi, pandangan dan falsafah hidup yang harus dipedomani bangsa indonesia dalam proses penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam mewujudkan cita-cita proklamasi kemerdekaan. Nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya merupakan nilai-nilai luhur yang digali dari budaya bangsa dan memiliki nilai dasar yang diakui secara universal dan tidak akan berubah oleh perjalanan waktu. 
Menjadi tanggung jawab pemerintah dalam mensejahterakan rakyatnya dan menanamkan ideologi kebangsaann yang sehat. Perlu ditekankan akan pentingnya Pancasila sebagai dasar negara dan Islam sebagai agama yang memberikan spirit khazanah keragaman Indonesia. Perbaikan dibidang pendidikan dan bidang sosial menjadi hal wajib untuk dilakukan agar permasalahan seperti dapat diselesaikan. Disamping peran masyarakat dalam melakukan fungsi kontrol sosial dan keteladanan. Hal ini harus diperkuat dengan instrumen agama dan Pancasila yang menjadi pagar bangsa dalam menghadapi berbagai permasalahan.


[1] Adi Sasono. 2008. Rakyat Bangkit Bangun Martabat. Jakarta: Pustaka Alvabet. Hlm 2.
[2] Marcell A. Boisard. 1980. Humanisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang. Hlm 67.
[3] Rina Arum Prastyanti. 2011. Pendidikan Pancasila. Solo : Duta Publishing Indonesia. Hlm 124.

ADIL MAKMUR?

PENTINGNYA SINERGISITAS PANCASILA DAN ISLAM DALAM MEMBANGUN MASYARAKAT ADIL MAKMUR
Sukarno dalam pidatonya menegaskan bahwa nasionalisme dan identitas kebangsaan kita justru akan makin kuat dan dikokohkan manakala kita berhasil mengukuhkan persatuan dalam perbedaan, demokrasi dan rasa solidaritas kebangsaan. Tanpa ketiganya, Indonesia yang bersatu tidak akan mungkin tercapai hingga saat ini.
Pancasila lahir sebagai proses yang natural terhadap dialektika masyarakat Indonesia yang plural secara ideologi, suku, dan agama. Menurut Notonagoro (1975) demokrasi pancasila adalah kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan yang berke-Tuhan-nan Yang Maha Esa, yang Berkepribadian Kemanusiaan yang Adil dan Beradab yang mempersatukan Indonesia dan yang berkedaulatan seluruh rakyat. Maka Pancasila sama sekali tidak bertentangan dengan Islam, melainkan Pancasila adalah Islam itu sendiri. Meski tak bisa dipungkiri terjadinya penyelewengan besar-besaran yang dilakukan Orde Baru terhadap praktek pembangunan yang berlabel Pancasila.[1] Orde Baru juga melakukan indonesiasi filsafat Pancasila. Melalui filsuf-filsuf yang disponsori Depdikbud, semua elemen Pancasila yang mengandung unsur barat disingkirkan dan diganti interpretasinya dalam budaya Indonesia. Pancasila digunakan sebagai alat legitimasi dibidang pendidikan oleh penguasa.[2]
Islam adalah agama yang sempurna dan benar yang diturunkan kepada Rasulallah dan menjadi rahmat bagi seluruh alam. Polemik tentang Islam dan Pancasila mungkin tidak akan ada habisnya. Namun ketika keserasian Pancasila dan Islam terbangun, Indonesia akan lebih kuat dalam landasan berpikir dan bertindak untuk melangkah dan bersaing di perkembangan zaman. Seperti yang dikatakan Nurcholis Madjid, Pancasila tidak boleh terpasung oleh kekakuan penafsiran. Pancasila harus menjadi ideologi terbuka dan tidak mungkin dibuatkan penjabarannya sekali untuk selama-lamanya. Bukan hanya Pancasila yang harus membuka diri bagi penafsiran baru agamapun, yang diyakini berasal dari Allah, harus membuka diri untuk ditafsir ulang. Penafsiran ulang inilah sebenarnya hakikat dari kerja ijtihad, demi menjawab masalah-masalah zaman yang terus berubah.[3]
Dalam Islam sendiri, ada beberapa generasi  baru  pemikir  dan  aktivis  Islam, khususnya mereka yang kepedulian utamanya adalah pembaruan teologis dan religius, meyakini pandangan mengenai watak Islam yang holistik. Meskipun demikian, mereka menolak kesimpulan yang ditarik dari doktrin keagamaan oleh generasi terdahulu pemikir dan aktivis Islam. Mereka menyatakan bahwa watak holistik Islam tidak serta-merta mengharuskan pencampuran antara yang sakral dan yang profan. Hal itu juga tidak mengimplikasikan suatu  pemahaman bahwa dua wilayah yang sakral dan yang profan harus ditempatkan pada tingkat yang sama. Menurut mereka, meskipun Islam tidak mengakui gagasan pemisahan antara kedua wilayah itu, namun keduanya dapat dan bahkan harus dibedakan. Penempatan kedua bidang itu dalam posisi yang sejajar hanya akan menghasilkan kerancuan dalam struktur dan nilai-nilai agama Islam. Selain itu, mereka juga berpendapat bahwa Islam itu sendiri ternyata tidak mengatur semua hal dalam segi kehidupan.[4] Hal ini sangat menarik jika kita melihat Islam dalam masyarakat Islam di Indonesia. Akulturasi budaya dan agama sangat kental terasa dan menjadi kekuatan kesatuan Islam Indonesia di mata internasional. Disamping ada beberapa oknum yang menjadikan agama sebagai legitimasi kepentingan politik maupun golongan. Menurut Abdurrahman Wahid (2000) lepas dari politik Islam yang banyak dipuji-puji, yang ditawarkan oleh para cendikiawan dan juga ideologi-ideologi, masyarakat-masyarakat orang muslim telah mengembangkan berbagai kerangka dan mengambil bagian dalam hampir semua jenis bentuk sosial yang dikenal sejarah selama empat belas abad yang lalu. Orang-orang Indonesia telah menunjukkan bahwa agama Islam dapat mengambil bagian dalam dari ideologi yang sama bersama dengan kepercayaan-kepercayaan yang lain dan aliran-aliran politik.
Terlepas dari berbagai polemik yang terjadi. Saat ini kondisi masyarakat Indonesia terkotak-kotakkan dan terpecah menjadi beberapa golongan atau aliran yang meyakini kebenaran pandanganya masing-masing. Pengotakan ini memberi  sense of identity yang membuat anggota suatu golongan atau aliran merasa berbeda dan memiliki superioritas atau kebenaran yang hakiki dibanding golongan atau aliran lainnya. Setiap golongan atau aliran merasa bahwa mereka istimewa dan merasa mereka diciptakan untuk hadir membawa tujuan yang paling mulia atau paling benar. Tendensi politik aliran merupakan suatu keniscayaan sejauh eksistensi politik aliran itu tidak melemahkan bangunan dasar demokasi, Pancasila dan pluralisme, ia justru menjadi suatu kekayaan dan keniscayaan untuk memperkaya landasan bangsa. Ia juga memajukan peradaban manusia Indonesia yang majemuk dan  ditakdirkan bersuku-suku, beragam agama dan berbeda pandangan politik. Beberapa kelompok yang sparatis gerakannya memang mengarah pada anti Pancasila, anti demokrasi, dan anti kepada pluralisme. Kondisi ini diekspresikan melalui bermunculannya Peraturan Daerah bertendensi syariah di era otonomi daerah. Fenomena bom bunuh diri, aksi sepihak, kekerasan antar kelompok kepercayaan dengan simbol SARA mengalami grafik yang signifikan mengancam kehidupan demokrasi. Situasi ini dipertajam dengan realitas kekuasaan yang korupsi.[5]
Dalam situasi dan kondisi kekinian Indonesia, ditengah kencangnya arus globalisasi dan modernisasi yang menggerus moral dan menipiskan identitas dan kepedulian terhadap sesama dan bangsa, Pancasila dan Islam adalah palang pintu terkuat untuk melindungi moral bangsa. Disisi lain, menyadari tantangan sebagai bangsa yang majemuk, kita harus sadar akan pentingnya persatuan bangsa, maka prinsip-prinsip kelembagaan yang didasarkan pada musyawarah untuk mufakat merupakan tuntunan bagi bangsa Indonesia dalam menjalankan kehidupan kelembagaan negara yang menentukan masa depan bangsa yang berkeadilan.  
Semua permasalahan yang kita hadapi saat ini, perlu disikapi oleh segenap komponen bangsa melalui pemahaman yang benar, utuh dan menyeluruh dalam konteks semangat persatuan dan kesatuan bangsa. Semangat tersebut merupakan kata kunci dari aktualisasi dan implementasi nilai-nilai luhur Pancasila yang harus terus ditumbuh kembangkan oleh setiap Insan di Indonesia. Namun yang menjadi titik sentral untuk menjawab tantangan ini tidak hanya restorasi nilai-nilai luhur Pancasila dan Islam, melainkan juga komitmen besar kalangan masyarakat dan semua elemen-elemen bangsa lainnya untuk mendukung terus rule of the game yang sehat. Seluruh masyarakat harus proaktif untuk menciptakan, membina, mengembangkan dan memantapkan persatuan dan kesatuan bangsa yang kerap menghadapi potensi perpecahan. Sinergi Pancasila dan Islam diharapkan mampu menghidupkan kembali sikap dan budaya gotong royong, silahturahmi dan musyawarah untuk mufakat yang hakikinya merupakan ciri bangsa Indonesia sejak dulu dengan berpedoman pada pilar kebangsaan yang dibangun oleh para pendiri bangsa.


[1] Ahmad Syafi’I Ma’arif. 2012. Politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme Kita. Jakarta : Democracy Project. Hlm 78.
[2] Rina Arum Prastyanti. 2011. Pendidikan Pancasila. Solo : Duta Publishing Indonesia. Hlm 48.
[3] Ahmad Syafi’I Ma’arif. 2012. Politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme Kita. Jakarta : Democracy Project. Hlm 20.
[4] Bachtiar Efendy. 2011. Islam dan Negara; Transformasi Gagasan dan Politik Islam di Indonesia. Jakarta: Democracy Project. Hlm 211.
[5] Ahmad Syafi’I Ma’arif. 2012. Politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme Kita. Jakarta : Democracy Project. Hlm 79.
 
Copyright © 2014 belajar dan bertelur. Designed by OddThemes | Distributed By Gooyaabi Templates