FILOSOF ISLAM AL-GHOZALI
Oleh
: Fachri Sakti Nugroho
A. PENDAHULUAN
Abu
Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali yang populer dengan gelar Hujjatul Islam dan Zainuddin lahir pada tahun 450 H/1058 M di kota Thus yang merupakan
salah satu kota di Khurasan. Ada yang berpendapat bahwa dia lahir di Ghazalah
yang terletak di ujung Thus. Ayahnya yang miskin bekerja sebagai tukang tenun
sutera. Setelah dewasa Al-Gazali dan adiknya pernah dititipkan oleh ayahnya pada
seorang sufi yang miskin. Namun karena masalah biaya hidup, sufi tersebut menyerahkan
keduanya ke salah satu sekolah yang didirikan oleh Nizham al-Mulk yang dapat
menyediakan asrama dan biaya hidup bagi para pelajar.
Beliau
kemudian pindah ke Jarjan pada usia belum mencapai usia sepuluh tahun untuk
mempelajari ilmu-ilmu agama, bahasa Persia dan bahasa Arab. Setelah itu dia
kembali ke Thus dan menetap selama tiga tahun. Pada tahun 470 H dia pergi ke
Nisabur dan berguru kepada Dhiyauddin al-Juwaini, Imam al-Haramain dan kepada madrasah Nizhamiyah. Pada saat itu dia
mempelajari fiqih, ushul, ilmu kalam, ilmu debat, logika, dan filsafat. Saat
itulah ia mulai menulis dan mengajar hingga dia menjadi orang yang cukup
disegani pada masa hidup gurunya,
al-Juwaini imam al-haramain.
Al-Ghazali
pergi ke Muaskar pada usia 28 tahun. Kemudian dia bertemu Nizham al-Mulk yang
menawariya untuk mengajar di madrasah. Kemudian pada tahun 487 H, Khalifah
al-Mustadhir meminta al-Ghazali untuk menaggapi pemikiran kaum ismailiyah yang
kuat pada saat itu, yang terkenal dengan sebutan al-bathiniyah atau at-ta’limiyah.
Beliau menulis tiga bukku untuk menanggapi maslah tersebut.
Al-Ghazali
pernah mengalami krisis kepercayaan, beliau ragu apakah ilmu yang dipelajarinya
mampu mengantarnya menuju keyakinan. Dari itu kemudian beliau terdorong untuk
mempelajari filsafat, ilmu kalam, bathiniyah
atau ta’limiyah dan tasawuf. Namun
menurutya filsafat, ilmu kalam, dan bathiniyah
tidak dapat mengantarkan seseorang menuju pengetahuan tingkat yakin (al-ma’rifat al-yaqiniyah). Dia juga mengatakan
bahwa indera dan akal tidak dapat mengantarkan seseorang menuju pengetahuan
hakikat (al-ma’rifat al-haqiqah).
Terkecuali tasawuf, dia perpendapat bahwa hanya ilmu sufistik merupakan jalan
kebenaran untuk mencapai al-ma’rifat
al-yaqiniyah.
B. Metafisika Al-Ghozali
Dalam
filsafat metafisikia ini al-Ghozali meenuliskan pemikirannya dalam kitab Tahafutul Falasifah. Dalam buku itu
Al-Ghazali menghantam pendapat-pendapat filsafat Yunani, diantaranya juga Ibnu
Sina, dalam dua puluh masalah. Diantaranya yang terpenting ialah
-
Al-Ghazali melawan dalil dalil
filsafat (aristoteles) tentang azalinya alam dan dunia. Al-Ghozali berpendapat
bahwa alam (dunia) berasal dari tidak ada menjadi ada sebab diciptakan Tuhan.
-
Al-Ghazali melawan pendapat kaum
filsafat (aristoteles) tentang pastinya keabadian alam. Ia berpendapat bahwa
soal abadi atau tidaknya alam adalah terserah pada tuhan semata, dan bukanlah
suatu kepastian harus adanya keabadian alam disebabkan oleh dirinya sendiri
diluar iradat tuhan.
-
Al-Ghazali melawan pendapat
kaum filsafat bahwa tuhan hanya mengetahui soal-soal yang besar saja, tetapi
tidak mengetahui hal-hal yang kecil (juz
iyat).
-
Al-Ghazali juga menetang
pendapat bahwa segala sesuatu terjadi
dengan kepastian hukum sebab akibat semata, dan mustahil jika menyeleweng dari
hal tersebut. Baginya kausalitas tersebut hanyalah kebiasaan belaka, dan bukan
hokum pasti. Dalam hal ini pendapat beliau sepaham dengan ijraul adat dari Al-Asy’ari.
Al-Ghazali
terkenal sebagai ulama mantik dan pemberi tuntunan dalam cara ber-mujadalah yang sistematis. Beliau
menjatuhkan kaum filsafat dengan dalil la
yasdurruminal-wahid illa syaiun wahid yang dikemukakan oleh kaum filsafat
sendiri. “Jisim tersusun dari bentuk dan materi pertama.” Dan susunan yang
dualitas ini menjadikannya tidak wahid lagi. Manusia tersusun dari jisim dan jiwa, sedangkan kedua unsure itu tidak illat satru sama lain. Dalam keadaan
inilah (dualitas) , unsure yang bersama-sama, merupakan illat bagi wujud yang
lain.
C. Iradat Tuhan
Menurut
Al-Ghazali, dunia ini berasal dari iradat
(kemauan) Tuhan. Iradat inilah yang diartikan sebagai penciptaan. Dalam
iradat ini menghasilkan dua ciptaan yaitu, undang-undang dan zarah-zarah
(atom-atom) yang abstrak yang kemudian saling menyesuaikan dan menjadi dunia
dan kebiasaannya. Iradat tuhan mutlak, bebas dari ikatan ruang dan waktu,
tetapi dunia yang diciptakan itu seperti yang dapat diungkap dan dikesankan
pada akal manusia terbatas dalam pengertian ruang dan waktu, dan masuk ke dalam
pengertian materialis. Al-Ghazali berpendapat
bahwa tuhan adalah transenden dan kemauan iradatnya iamnen diatas dunia
ini, dan menjadi sebab hakiki dari segalanya.
Al-Ghazali
kukuh bahwa tuhan itu tidak terikat pad hokum kausalitas, melainkan ijra’ul adat dan bisa menyimpang dari
kebiasaan sebab akibat. Tuhan bukan memindahkan soal yang satu (factor sebab)
kepad soal yang lain(factor akibat), melainkan menciptakan dan menghaancurkan
nya, dan akhirnya menciptakan hal yang baru sama sekali dalam mengartikan sebab
kepada akibat itu.
D.
Tiga Persoalan Metafisika yang Berlawanan dengan Islam
a.
Qodimnya Alam
Para
filosof mengatakan bahwa qodim tuhan atas alam sama dengan qodimnya illat atas
ma’lulnya (sebab akibat), yaitu dari segi zat dan tingkatan, bukan dari segi
zaman. Ada beberapa alasan dan jawaban yang dikemukakan beliau, yaitu antara
lain :
-
Alasan pertama
Alasan
yang pertama adalah, tidak mungkin wujud atau alam keluar dari yang qodim
(tuhan), karena jika demikian maka dapat dikatakan bahwa yang qodim itu sudah
ada, sedangkan alam belum ada.
Tentang
alam yang belum wujud, disebutkan pula bahwa pada waktu itu hal-hal yang
menyebabkan wujudnya alam belum ada, jadi alam merupakan sebuah kemungkinan.
Sesudah waktu datang maka alam menjadi wujud dan perwujudan ini disebabkan
karena factor-faktor yang mewujudkannya. Namun akan timbul pertanyaan kenapa
factor tersebut baru ada pada waktu itu. Jika dikatakan bahwa tuhan tidak
berkehendak mengadakan alam, kemudian menjadi berkuasa untuk mengadakannya,
maka akan timbul pertanyaan mengapa kekuasaan itu baru timbul pada masa itu,
dan tidak muncul sebelumnya.
Jika
dikatakan bahwa tuhan sebelumnya tidak mempunyai tujuan bagi wujudnya alam,
kemudian maksud ini timbul, kenapa tujuan itu timbul. Atau jika dikatakan bahwa
tuhan mula-mula tidak menghendaki adanya, maka kenapa tiba-tiba wujud itu
timbul, dan darimana timbulnya. Apakah pada zatNya, atau selain zatNya. Jika
pada zatNya, tuhan itu tidak menjadi tempat perkara yang baru, jika timbul pada
selain zatNya, berarti bukan tuhan yang mempunyai kehendak, melainkan berasal
dari zat lain tersebut.
-
Jawaban Al-Ghazali
Dianalogikan
bahwa kalau iradat itu sama seperti halnya niat mengadakan suatu perbuatan,
maka perbuatan tersebut tidak mungkin terlamabat kecuali ada halangan. Jawab
Al-Ghazali ialah bahwa arti iradat itu yang membedakan untuk membedakan sesuatu
dari yang lainnya. Kehendak tuhan itu mutlak, tidak terikat waktu dan
merupakann kehendakNya. Kalau ditanyakan sebabhnya, maka kehendak tuhan itu
terbatas.
-
Alasan kedua
Tuhan
terlebih dulu daripada alam dari segi zat dan bukan zaman, seperti halnya angka
1 yang lebih dulu dripada angka 2, dan seperti lebih dahulunya gerakan daripada
bayangannya, sedangkan kedua gerakan tersebut sebenarnya sama dari segi zaman.
Kalau yang dimksud dengan terlebih ahulunya tuhan atau ala mini ialah dari segi
zaman, maka ;
-
Tuhan dan alam baru
kedua-duanya,
-
Tuhan dan alam qodim
kedua-duanya, mustahil keduanya qodim, sedangkan yang lainnya baru.
-
Jawaban Al-Ghazali
Tuhan
lebih dahulu adanya daripada alam dan zaman ialah bahwa tuhan sudah ada
sendirian, sedangkan alam belum lagi ada, kemudian tuhan ada bersma alam.
Sebelum adal alam tentu belum ada zaman.
-
Alasan ketiga
Harus
ada benda baru dikatakan ada yang baru, dan keduanya tak bisa terlepaskan. Yang
baru hanyalah surah (form), aradl (sifat-sifat) dan cara-cara atau
peristiwa yang mendatangkan benda. Sebelum terjadinya hal yang baru itu, tidak
lepas dari tiga sifat :
-
Mungkin (bisa) wujud
-
Tidak mungkin bisa wujud
-
Wajib (mesti) wujud
Sifat
yang kedua dan ketiga tidak mungkin adanya karena alam ini ada dan kemudian
tidak ada dan sebaliknya. Satu-satunya yang mungkin adlah yang pertama, yaitu
mungkin wujud dan hal ini memerlukan perkara lain hingga menjadi wujud.
-
Jawaban Al-Ghazali
Sifat
mungkin wujud tersebut adalah sifat proporsi pikiran, sesuatu yang dikira –kira
oleh akal. Untuk menguatkan ini Al-Ghazali mengemukakan dua hal :
-
Kalau sifat mungkin memerlukan
suatu wujud untuk menjadi tempatnya (disifatinya). Maka sifat sifat tidak
mungkin wujud juga memerlukan suatu perkara untuk dapat dikatakan bahwa perkara
ini tidak mungkin wujud, sedangkan tidak mungkin wujud tidak memerlukan adanya
wujud atau bendanya yang ditempati sifat tersebut.
-
Akal memutuskan tentang warna
hitam dan putih sebelum wujudnya, dan kedua warna ini mungkin bisa terjadi.
Jika sifat mungkin dipertalikan dengan benda yang ditempati kedua warna
tersebut sehingga dapat dikatakan, benda tersebut dapat dihitam atau
diputihkan, maka artinya hitam dan putih itu sendiri tidak mungkin dan tidak
mempunyai sifat tidak mungkin, karena yang mungkin adalah bendanya, dan sifat
mungkin menjadi sifatnya.
Maka
dapat dikatakan bahwa warna tersebut bersifat mungkin. Jadi, akal pikiran kita
mengatakan mungkinnya sesuatu tidak memerlukansesuatu zat wujud yang bisa
ditempati sifat tersebut.
b.
Ilmu Tuhan terhadap Hal-hal Kecil
Para
filsuf menagtakan bahwa tuhan tidak
mengetahui hal-hal yang kecil, kecuali dengan cara umum. Mereka beralasan bahwa
yang baru ini dengan segala peristiwanya selalu berubah sedangkan ilmu selalu
mengikuti apa yang diketahui. Jika demikian maka tuhan berarti berubah-ubah,
sedangkan hal itu mustahil.
Untuk
memperjelas hal itu , al-Ghozali menganalogikan dengan peristiwa gerhana matahari
yang mempunyai tiga keadaan :
-
Keadaan ketika gerhana tidak
ada, tapi akan datang.
-
Keadaan ketika terjadi gerhana,
artinya gerhana sedang berlangsung
-
Keadaan ketika gerhana tidak
ada, tetapi sebelumnya sudah terjadi
Mengenai
keadaan tersebut terdapat pula tiga pengetahuan yang berbeda-beda :
-
Kita tahu bahwa gerhana itu
tidak ada kemudian ada
-
Kita mengetahui gerhana itu
sedang terjadi
-
Kita mengetahui bahwa gerhana
sudah terjadi dan sekarang sudah tidak lagi
Ketiga
pengetahuan tersebut mengalami perubahan, terbilang dan berbeda-beda, namun
para filosof beranggapan bahwa tuhan pada ketiga peristiwa tersebut tidak
berbeda-beda. Bagi zat yang tidak berubah keadaannya, tidak akan terbayang
bahwa dia mengetahui ketiga peristiwa, karena pengetahuan mengikuti objek. Jika
objek berubah-ubah maka pengetahuan akan berubah-ubah, dan kalau ilmu berubah
maka zat yang mengetahui juga berubah, sedangkan tuhan mustahil untuk berubah.
-
Jawaban Al-Ghazali
Al-Ghazali
berpendapat bahwa ilmu adalah tambahan atau pertalian dengan zat, artinya lain
daripada zat. Pendapat ini berbeda dengan pendapat para filosof yang mengatakan
bahwa sifat-sifat tuhan adalah juga zatnya, tidak ada pemisahan dan tidak ada
tambahan.
Menurut
Al-Ghozali jika terjadi perubahan pada tambahann tersebut, maka zat tuhan tetap.
Juga dikatakan jika objek ilmu itu banyak apakah tuhan juga juga banyak zat.
Para filosof yang mengatakan bahwa ala mini qodim dan mengakui adanya perubahan
yang ada didalamnya, berarti mereka juga mengakui perubahan pada yang qodim,
akan tetapi mereka tidak mengakui perubahan pada tuhan yang qodim pula.
c.
Kebangkitan Jasmani
Menurut para filosof, alam akhirat adalah alam
kerohanian dan bukan alam material. Kesemuanya itu memang disebutkan dalam
Al-Quran dengan maksud untuk memudahkan pemahaman. Keunggulan alam kerohanian
sebenarnya juga berlaku didunia ini, namun
tidak dapat dicapai karena kesibukkan materinya. Agar sesuai denga
suasana kerohanian, maka kebangkitan di akhirat nanti bersifat rohaniah pula,
dan tidak perlu adanya kebangkitan jasmani. Dalam mengemukakan alasan ini,
mereka menyatakan bahwa pengembalian badan memiliki tidak daripada tiga
kemungkinan :
-
Manusia terdiri atas badan dan
kehidupan sedang jiwa adalah berdiri sendiri dan tak berwujud. Pengertian mati
adalah tuhan tidak lagi member hidup, maka arti dari kebangkitan adalah tuhan
memberi kehidupan kembali. Dengan kata lain, badan manusia setelah menjadi
tanah dikumpulkan dan disusun kembali menurut bentuk manusia dan diberkan hidup kepadanya. Kemungkinan
pertama ini tidak dibenarkan karena pengertian menjadikan kembali adalah
membuat apa yang sudah ada, bukan membuat apa yang sudah ada itu sendiri.
-
Dapat dikatakan pula jiwa ini
tetap wujud sesudah mati, tetapi nanti badan yang pertama dikembalikan lagi
dengan lengkap. Hal ini juga tidak dibenarkan karena badan akan hancur dimakan
cacing saat dikuburkan dan sukar dikumpulkan kembali. Jika mengatakan hal ini
bisa terjadi dengan kekuasaan tuhan, akan terjadi masalah jika nanti ada kanibalisme,
dimana dalam satu badan, tetapi manusianya dua.
-
Juga dikatakan pula jiwa
dikembalikan ke badan, baik badan secara lengkap maupun pada badan lain sama
sekali. Jadi, yang dikembalikan adalah manusianya, bukan badannya, sedangkan
manusia dianggap manusia karena jiwanya, bukan karena badannya. Hal ini juga
tidak dibenarkan karena benda-bendanya itu terbatas banyaknya, sedangkan jiwa
tidak terbatas. Jika kita menerima pikiran ini maka kita mengakui adanya
reinkarnasi jiwa.
-
Jawaban Al-Ghazali
Jawaban
al-Ghazali lebih condong pada kemungkinan ketiga yang banyak didasarkan atas
alasan syara’ dan bukan pada pemikiran. Dia mengatakan jiwa manusia tetap wujud
setelah mati, karena ia merupakan substansi yang berdiri sendiri. Kemudian ada
penjelasan pula akan adanya kebangkitan badan. Kebangkitan ini menjadi hal
yang mungkin karena pengembalian jiwa
kepada badan baik badan pertama maupun yang lainnya, atau bahkan badan yang
baru diciptakan, karena hakikatnya manusia adalah jiwanya.
Tentang
terbatasnya benda dan tidak terbatasnya jiwa, tidak dapat dibenarkan. Karena
menurut filosof alam itu qodim, sedangkan jiwa itu baru, jadi jiwa tidak
mungkin lebih banyak daripada benda-benda itu. Tentang perpindahan jiwa memang
tidak dibenarkan oleh al-Ghazali, tapi tentang kebangkitan jasmani
dipercayainya, baik disebut transmigrasi jiwa atau bukan, selama hal ini
disebutkan dalam agama. Tuhan mampu menciptakan manusia dari sperma, maka denga
kekuasaannya tuhan akan mampu menciptakan manusia dari tulang belulang.
E. PENUTUP
Falsafat
adalah salah satu jalan yang menawarkan rasionalitas kebenaran sebagai pilihan
untuk menemukan makna hidup dan membangun pandangan dunia. Falsafat adalah
kerangka yang menitiskan beragam jawaban akan pertanyaan asasi eksistensialis.
Demikian halnya dengan agama, yang bertujuan untuk menjadi jalan kebenaran,
namun akal dan rasionalitas bukan satu-satunya jalan yang dikehendaki oleh
agama. Dogma agama, senantiasa mensyaratkan iman bagi setiap pemeluknya, dan
dimensi akliah manusia harus dinafikan terlebih dahulu sehingga lantas bisa
beranjak pada keluhuran derajat iman.
F. KESIMPULAN
Al-Ghozali
adalah filosof Islam yang berpegang teguh pada agama yang membawa nilai-nilai
kerohanian serta moral. Tujuannya dalam berpikir kritis ini adalah untuk menghidupkan
semangat islam
DAFTAR PUSTAKA
Drs.
Poerwantana DKK, Seluk-Beluk Filsafat
Islam, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1994.